Postingan Populer

Senin, 27 Februari 2023

Ah, Mungkin Kau Lupa Aku Begitu Merindumu


 


Rindu adalah perasaan yang senantiasa bersemayam pada lubuk manusia, di mana pun, siapa pun, dan kapan pun. Dia akan terus berada di sana hingga manusia menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya. Dengan rindu, hidup tidak akan abu-abu. Hidup akan beraneka warna. Beragam suka.  Rindu yang disampaikan dalam buku ini merupakan rindu dikristalisasi oleh konvensi bahasa puisi. Ada larik, bait, irama, dan birama. Dengan demikian, makna rindu bisa semakin “liar” sepanjang bahasa yang disampaikan menjadi bahan renungan dalam menghadapi kehidupan. Beragam cara disampaikan untuk rasa rindu, entah itu dengan menunjuk kepada seseorang, kepada alam, kepada tuhan, atau kepada apa pun yang diyakininya. 

(Heri Isnaini)



Silakan sajak-sajaknya dapat diunduh pada tautan berikut

>>>>>>>>>> https://drive.google.com/file/d/1FY8f7EFrHW4IYO6UkL4Xbmx5wfXPG8jY/view?usp=sharing


Rabu, 22 Februari 2023

Polemik Budaya pada Layar Terkembang

sumber gambar: https://ebooks.gramedia.com/

        Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA) adalah novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1936 oleh penerbit kolonial Balai Pustaka. Seperti kita ketahui, pada dekade 1920-an, semua bacaan yang beredar di masyarakat harus dibawah naungan Balai Pustaka sebagai satu-satunya penerbit yang mempunyai hak menerbitkan dan mengedarkan bahan bacaan masyarakat. Dengan asumsi bahwa bacaan yang beredar harus “beradab” dan bukan bacaan cabul.

Secara tekstual dan naratif, Layar Terkembang sebetulnya adalah novel yang sangat mudah dipahami dan cenderung “populer”. Akan tetapi, karena yang menerbitkan novel ini adalah Balai Pustaka sehingga Layar Terkembang menjadi novel beradab dibandingkan karya-karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka, Novel Melayu Tionghoa, misalnya. Artinya, pengaruh penerbit pada masa tersebut sangat mempengaruhi novel dan cerita yang diproduksi dan konsumen yang membacanya.

Sekitar satu tahun sebelum Layar Terkembang terbit, STA mencetuskan ide yang berani soal arah kemajuan budaya bagi Indonesia. STA pada tahun 1935 dengan tegas menyebutkan, Barat, ke Baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju. STA melontarkan idenya itu pada usia 27 tahun. STA menganggap nilai-nilai Barat seperti individualis, materialisme, dan egoisme sebagai sesuatu yang penting sebagai api. Pokok-pokok pemikiran STA bukan hanya mengguncang masyarakat saat itu. Para pemikir dan budayawan seangkatannya seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menanggapi pemikiran STA seraya mengingatkan STA bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus dipertahankan Indonesia mendatang. Perdebatan antara STA dengan para penentangnya dikenal dengan istilah Polemik Kebudayaan.

Pengaruh pernyataan STA terlihat pada novel Layar Terkembang. Misalnya, Yusuf, digambarkan sebagai anak pribumi yang pandai, cerdas, calon dokter tetapi selalu berpakaian ala pelajar Belanda, memakai stelan putih dan mengenakan topi helm dengan warna senada. Selanjutnya, kita cermati tokoh Soepomo, teman sekerja Tuti, dia hampir saja meluluhkan hati Tuti yang sudah sangat kuat “mempertahankan” prinsipnya: lebih baik tidak menikah daripada mendapatkan suami yang tidak sepadan dan sepaham hanya karena Soepomo berijazah Belanda, dia pernah sekolah di Belanda.

Dalam novel tersebut, ecara sadar STA sebetulnya mempunyai polemik tersendiri pada hati kecilnya. Dengan terang-terangan dia tidak mungkin akan kembali pada kebudayaan masa lalu yang dikatakannya sebagai takhayul. Ketakhayulan yang dianggap STA sebagai kemunduran pola pikir bangsa ini tercermin pada kutipan teks berikut “Sejak dari dahulu, bangsa kita gemar akan sikap menganggap dunia ini sebagai tiada berarti, fana. Dunia hanya tempat perhentian sebentar. Apa guna mengumpulkan harta? Apa guna kebesaran dan kemuliaan? Sikap demikian menyebabkan bangsa kita tiada berdaya?

Dari beberapa pendapat STA mengenai kebudayaan yang maju harus datang dari Barat, sebetulnya tidak mutlak dipegangnya juga. Kita akan banyak melihat kutipan pada Layar Terkembang yang menyatakan hal tersebut. Novel Layar Terkembang adalah polemik STA sendiri, satu sisi dia merasa dipengaruhi Barat, tetapi di sisi lain dia juga menyadari bahwa pada kebudayaan Barat ada cela yang tidak seharusnya ditirunya. Jadi, siapa yang meniru? STA tidak “meniru” apapun dari Barat, dia hanya memenuhi konvensi yang hanya diposisikan sekadar sumber inspirasi saja. Tidak lebih.

 

disarikan oleh

Heri Isnaini


Minggu, 19 Februari 2023

Seri Kuliah: Ragam Bahasa

sumber gambar: https://www.kompasiana.com/

 

Silakan unduh materi PPT pada tautan berikut

>>>>>>>>>>>>>>>>>

https://docs.google.com/presentation/d/1Ecomimu52PrkFPdcVXKebR9ulhE1lP1o/edit?usp=sharing&ouid=101156531804308666788&rtpof=true&sd=true

Ihwal Bahasa Indonesia

sumber gambar: https://bdkjakarta.kemenag.go.id/

 

Momen penting proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Soekarno tahun 1945 secara de facto dan de jure adalah peristiwa yang membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan kaum imperialis. Momen ini tidak luput menjadi peristiwa yang bersejarah sebagai momen kelahiran bangsa Indonesia. Proklamasi yang dibacakan Soekarno pada 17 Agustus 1945 menggema seantero nusantara. Menarik untuk disimak adalah teks proklamasi yang dibacakan Soekarno adalah teks proklamasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.

        Bahasa Indonesia yang disepakati sebagai bahasa persatuan pada peristiwa 28 Oktober 1928 menjadi bahasa yang mempersatukan bangsa yang memiliki bahasa yang majemuk. Dengan diikrarkan Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu yang sudah dipakai sejak pertengahan Abad VII itu menjadi bahasa Indonesia. Akar utama bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa prasasti yang menjelaskan bahwa bahasa ini sudah digunakan di kepulauan nusantara, seperti: Prasasti Kedukan Bukit di Palembang pada tahun 683; Prasasti Talang Tuo di Palembang pada tahun 684; Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat pada tahun 686; Prasasti Karang Brahi, Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi pada tahun 688; Prasasti Gandasuli pada tahun 832; Prasasti Bogor pada tahun 942; dan sebagainya. Prasasti-prasasti tersebut menggunakan bahasa Melayu kuno.

        Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa Austronesia. Secara harfiah Austronesia berarti “kepulauan selatan” (Latin: australis `selatan` dan nesos/nesia `pulau`). Rumpun bahasa Austronesia terbagi atas beberapa kelompok. Dua kelompok utama ialah bahasa Taiwanik dan bahasa Melayu-Polinesia. Melayu-Polinesia dibagi menjadi bahasa-bahasa Melayu-Polinesia Barat, Tengah, dan Timur. Bahasa-bahasa Austronesia yang mempunyai jumlah penutur terbesar adalah rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat yang menurunkan bahasa Sundik, yaitu: bahasa Jawa, bahasa Melayu (Indonesia), bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa Aceh, bahasa Batak, dan bahasa Bali.

        Kata Indonesia pertama kali dilontarkan oleh George Samuel Earl, kebangsaan Inggris, dengan menyebut “Indunesia” untuk menamai gugusan pulau di Lautan Hindia. Namun, para ilmuwan Eropa lebih sering menyebut dengan “Melayunesia”. J.R. Logan, kebangsaan Inggris, dalam majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (Volume IV, P.254, 1850) menyebut gugusan pulau di Lautan Hindia dengan Indonesian. Kemudian, Adolf Bastian, kebangsaan Jerman, menggunakan Indonesia dalam bukunya Indonesian Order die Inseln des Malaysichen Archipel, untuk menamai pulau yang bertebaran di Lautan Hindia.

        Dengan demikian, perjalanan sejarah bahasa Indonesia adalah perjalanan panjang yang berbanding lurus dengan perjalanan Indonesia menuju bangsa dan negara yang merdeka. Ada pepatah yang mengatakan: “Bahasa daerah itu pasti, bahasa Indonesia itu wajib, dan bahasa asing itu perlu”. Melalui momen proklamasi ini, mari kita jaga bangsa, negara, dan bahasa kita dari “penjajahan” yang tidak terasa, yakni budaya dan ideologi asing.


disarikan oleh

Heri Isnaini


Sabtu, 18 Februari 2023

Kwee Tek Hoay dan "Boenga Roos dari Tjikembang"

 

sumber gambar: https://www.kompas.com/


Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886-4 Juli 1952) merupakan penulis keturunan Tionghoa yang produktif. Karya-karya yang ditorehkannya dikenal luas sampai ke dunia internasional. Selain sebagai penulis, Kwee Tek Hoay juga menjadi redaktur berbagai media massa, seperti Panorama, Moestika Romans, dan Moestika Dharma. Kelihaiannya dalam menulis membuat Kwee menjadi satu dari sedikit keturunan Tionghoa yang dapat mengeksplorasi ide-idenya melalui tulisan. Jumlah karyanya mencapai lebih dari 200 buah, termasuk naskah drama dan terjemahan dari bahasa Inggris dan Belanda.

            Salah satu keistimewaan dan ciri khas Kwee adalah kemampuannya menggambarkan keadaan yang dituliskan apa adanya, tidak ditutup-tutupi, dan tidak dilebih-lebihkan. Konsep realis ini yang menyebabkan karya-karya Kwee lebih bersifat informatif faktual dari sekadar karya fiktif sehingga memungkinkan karya-karyanya lebih populer dibandingkan dengan karya-karya yang sezaman.

            Salah satu novel populer yang ditulisnya adalah Boenga Roos dari Tjikembang yang pertama kali diterbitkan oleh Drukkerij Hoa Siang In Kok, Batavia, 1927.  Novel ini begitu populernya sehingga termasuk karya sastra Melayu Tionghoa yang paling banyak dicetak. Di samping sebagai novel, cerita ini juga dipentaskan, bahkan dua kali difilmkan, yaitu pada tahun 1931 dan 1976. Pada tahun 2000, mahasiswa UI mementaskan novel ini di Pusat Kebudayaan Belanda dan pada 11 Februari 2001, novel ini juga dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta atas prakarsa Yayasan Tridarma.

            Boenga Roos dari Tjikembang gubahan Kwee Tek Hoay merupakan novel realis yang bercerita tentang keluarga Tionghoa kaya-raya yang tidak terlepas dari masalah uang, cinta, wanita, dan kedudukan. Inilah ciri realis yang sangat kentara pada novel ini, yakni menggambarkan kisah dengan apa adanya dan sangat faktual. Gaya realis yang digunakan sangat  jelas dan singkat. Tidak ada perkataan yang mengharukan seperti umumnya terdapat pada novel-novel romantik yang seringkali dihadapkan pada kejadian yang tiba-tiba dan berlebih-lebihan.

            Gaya realis yang dibangun oleh Kwee Tek Hoay dalam novel ini terdapat pada tataran latar yang tergambar pada novel tersebut. Kwee Tek Hoay menggambarkan latar tempat dengan begitu apik dan deskripsi yang disajikannya begitu nyata, tampak pada kutipan /Dalam bulan Januari antero tanah-tanah pegunungan di Preanger jadi basah tersirem oleh ujan yang turun satiap hari/. Kutipan tersebut menandakan bahwa Kwee betul-betul mengetahui persoalan dan dia sangat fasih bagaimana cara menggambarkannya. Kwee Tek Hoay ingin memberikan “informasi” mengenai latar tempat, waktu, dan suasana seperti yang tergambar pada petikan di atas. Semua yang tergambar memang sesuatu yang betul-betul realistis sesuai kenyataan tidak dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurangi pas menurut porsi yang sesuai dengan zamannya.

            Selain dari tataran latar, bahwa novel tersebut adalah novel yang realis dapat juga terlihat dari persoalan-persoalan yang terjadi pada cerita di dalamnya. Kita ketahui persoalan yang sangat realistik pada novel tersebut adalah persoalan “uang”. Uang-lah yang membuat Ay Tjeng kehilangan Marsiti, nyai yang sangat dicintainya, sehingga dia “rela” meninggalkan Marsiti hanya karena ingin “mematuhi” orang tuanya yang menjodohkannya dengan Gwat Nio demi kekayaan. Kwee Tek Hoay membuat dunia seperti yang “sewajarnya” dan “apa adanya”.


disarikan oleh

Heri Isnaini

Kamis, 16 Februari 2023

Resensi Buku: Membidas Citra Manusia dalam "Mantra Orang Jawa"


 

 

 

Judul: Mantra Orang Jawa

Penulis: Sapardi Djoko Damono

Penerbit: Gramedia

Tahun: Mei, 2020

Tebal: viii+66 halaman

ISBN: 9786020642932

 

Kepergian maestro sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono, 19 Juli 2020 meninggalkan tangis dan duka yang mendalam sebab tidak banyak sastrawan Indonesia yang memiliki kemampuan seperti SDD, sebutan untuk Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Guru Besar Sastra, Universitas Indonesia. SDD sudah menulis banyak karya, seperti puisi, cerpen, novel, karya terjemahan, teori sastra, esai, dan tulisan-tulisan yang lain. Tulisan-tulisan SDD seringkali bersinggungan dengan budaya Jawa. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang budaya SDD sendiri yang lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Budaya Jawa sangat kental dalam karya-karyanya.

Mantra Orang Jawa merupakan sehimpun puisi karya SDD yang diambil dari tradisi masyarakat Nusantara (termasuk tradisi pada masyarakat Jawa), yakni mantra. Dalam pengantar buku ini SDD menuliskan “Mantra yang ditulis kembali dalam buku ini berasal dari berbagai sumber, lisan maupun tulisan, yang umur dan asal-usulnya tidak mungkin lagi -dan tidak perlu- ditelusuri. SDD menyadari bahwa tradisi mantra pada masyarakat Jawa sangat kental dan dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Sehimpun puisi pada Mantra Orang Jawa terdiri atas 59 puisi yang dijelaskan oleh penulisnya berasal dari warisan leluhur. “Konon, di zaman lampau mantra memiliki kekuatan yang bisa dimanfaatkan nenek moyang kita untuk berbagai keperluan hidup sesuai dengan maksudnya”, begitu tulis SDD. Artinya, ke-59 puisi dalam buku ini menjadi menarik karena mengandung konsep teks mantra dalam tradisi lisan. Salah satu ciri teks dalam tradisi lisan yang disebutkan oleh Danandjaja (2002: 46) adalah kata dan kalimat dalam puisi lisan tidak berbentuk bebas (free phase) melainkan terikat (fix phase). Artinya, ada konvensi dalam tradisi mantra, seperti ada diksi yang menunjukkan tujuan mantra; ada perulangan kata atau bunyi; ada daya sugesti melalui kata dan kalimat tertentu; dan ada efek magis ketika dibaca, terutama ketika dibaca nyaring. Puisi-puisi dalam Mantra Orang Jawa sudah memenuhi kriteria tersebut.

“Dalam buku ini (mantra) telah saya jadikan puisi, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu, meskipun tetap harus dilisankan” Tulis SDD masih dalam kata pengantar buku ini. Dengan kata lain, SDD ingin menunjukkan puisi-puisi yang ada dalam Mantra Orang Jawa masih dianggap memiliki tradisi kelisanan dan ada beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa puisi yang digubah SDD memang berasal dari tradisi lisan.

Berangkat dari pembahasan tersebut, puisi-puisi yang dihimpun dalam Mantra Orang Jawa dapat dimaknai sebagai proses membidas citra manusia Jawa dalam memaknai hidup dan kehidupan. Hidup, bagi masyarakat Jawa, dapat dipahami sebagai perjalanan menuju tujuan hidup, yakni Tuhan. Perjalanan ini seringkali diwujudkan dengan metafora seperti perjalanan air menuju samudera. Perjalanan yang panjang dan penuh liku itu akan dibangun melalui kesadaran sangkan paraning dumadi (asal usul manusia). Kesadaran ini dapat dilihat dari 3 fase kehidupan manusia, yakni: kelahiran, kehidupan, dan kematian.

Puisi-puisi dalam Mantra Orang Jawa merepresentasikan ketiga fase tersebut. Puisi pertama dalam kumpulan ini adalah puisi Asal-Muasal Manusia” dan “Mantra Hari Lahir”. Kedua puisi tersebut jelas merepresentasikan kesadaran akan asal permulaan manusia, yakni proses kelahiran.

 

tak terbatas nama air

dari suci alir air

bagai intan ombak air

inti intan zat air

raja intan sempurnanya air

(Damono, 2020: 1)

 

            Larik-larik tersebut berasal dari puisi “Asal-Muasal Manusia) yang menjelaskan bahwa air merupakan zat yang mengawali proses kelahiran manusia, atau yang menjadi musabab adanya manusia. Air yang menjadi asal-usul manusia adalah air suci yang mangalir  (larik kedua). Air tersebut merupakan inti dari zat air. Dalam terminologi Islam, air adalah zat yang menjadi pokok hadirnya kehidupan. Seperti dijelaskan pada surat al-Anbiya ayat 30  “Kami ciptakan dari air segala yang hidup”, termasuk asal-usul manusia yang diciptakan dari saripati tanah (air mani). Larik-larik berikut dapat memperjelas posisi air dalam konteks ini.

Fase kehidupan menjadi fase kedua setelah manusia dilahirkan, fase ini akan dilalui oleh manusia sangat beragam, sesuai dengan jatah umur yang diberikan Tuhan. akan tetapi fase kehidupan ini dibangun dengan proses, sehingga fase ini adalah fase yang paling panjang, karena di dalamnya terdapat rintangan dalam mencapai tujuan. Dalam buku ini, ada banyak puisi yang merepresentasikan proses kehidupan, yakni menggambarkan keinginan-keinginan manusia, seperti pada puisi: “Mantra Agar Dikasihi”, “Mantra Pengasihan”, “Mantra Sakit Encok”, “Mantra Menyapih Anak”, “Mantra Bersenggama”, sampai pada puisi yang ditujukan untuk memperoleh kekuatan, seperti “Mantra Menggenggam Kilat” dan “Aji Limunan”. Pada fase ini citra manusia Jawa diwujudkan dengan banyaknya keinginan yang harus terwujud dengan bantuan kekuatan di luar dirinya. Kesadaran akan kelemahan diri, merupakan salah satu bentuk citra manusia Jawa.

Fase ketiga adalah fase kematian. Fase ini adalah fase akhir dalam konsep ajaran mistik sangkan paraning dumadi dan merupakan awal dari perjalanan menapaki tujuan kehidupan, yakni Tuhan. Kematian  pada masyarakat Jawa dimaknai sebagai permulaan kehidupan karena ada konsep urip sajroning mati (hidup di dalam kematian). Kesadaran ini merupakan kesadaran yang tingi dalam memahami hidup, kehidupan, dan Yang Mahahidup. Dalam buku ini puisi ke-59 merepresentasikan citra kesadaran manusia Jawa dalam memahami kematian. Puisi dengan judul “Mantra Menjelang Tidur” menggambarkan konsep tersebut.

 

aku berniat tidur

berkasur raga

berbantal nyawa

berselimut sukma

dijaga para bidadari

nikmat mulia sejati

            (Damono, 2020: 64)

 

Puisi tersebut dengan jelas menjadi bagian untuk pemahaman konsep kematian dalam kesadaran citra manusia Jawa menggapai tujuan dari kehidupan, yakni /nikmat mulia sejati/.

Buku puisi Mantra Orang Jawa sangat relevan dalam membidas citra manusia Jawa dalam memahami hidup dan kehidupan. Melalui diksi yang sederhana, SDD menjadikan mantra tidak mistis lagi, melainkan menjadi puisi romantis dan berwibawa. Sebagai penutup, saya kutip tulisan SDD dalam postliminaries buku Mantra Orang Jawa “Jika dalam masyarakat lampau orang percaya akan khasiat mantra Jawa, yang saya tulis kembali ini harap dianggap sebagai puisi yang disesuaikan dengan sejumlah ciri bentuk mantra Jawa. Namun jika ada yang berniat megembalikannya pada fungsinya semula, sila saja. Siapa tahu bisa kesampaian juga maksudnya”.



-Tulisan ini saya dedikasikan untuk Mahaguru, Sapardi Djoko Damono, semoga tenang di Samudera Illahi, Alfatihah..-

 


disarikan oleh

Heri Isnaini

Senin, 13 Februari 2023

Sejarah Pendidikan di Indonesia

sumber gambar: https://www.websitependidikan.com/

 

disarikan oleh

Yulia Herliani (Guru SMK Profita Bandung)


Pembahasan mengenai pendidikan di Indonesia selalu menarik untuk didiskusikan. Banyak hal yang menjadikan pendidikan di Indonesia begitu kompleks dan selalu dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Pada zaman Van Den Bosch (1830-1834) Pemerintah kolonial Belanda membuka sekolah-sekolah untuk keperluan tanam paksa karena mereka memerlukan pegawai yang bisa membaca dan menulis. Pendidikan pada zaman ini masih terbatas untuk pribumi priyayi dan bangsa Belanda yang ada di Nusantara.

        Pada tahun 1892, pemerintah kolonial Belanda membuka sekolah rendah yang diperuntukkan untuk pribumi dan bangsa Belanda. Sekolah tersebut dibagi menjadi 2 macam, yakni Sekolah kelas 2 diperuntukkan pribumi priyayi dengan lama pendidikan 3 tahun yang difokuskan pada pembelajaran berhitung, menulis, dan membaca. Sekolah kelas 1 diperuntukkan bangsa Belanda dengan lama pendidikan 7 tahun yang difokuskan pada pembelajaran ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat, menggambar, dan ilmu mengukur tanah. Bahasa pengantar di sekolah-sekolah pada masa itu adalah bahasa Melayu dan Belanda.

        Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pelaksanaan pendidikan di Indonesias harus berdasarkan UUD 1945. Pada Desember 1945 dibentuklah Panitia Penyelidikan Pendidikan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Pada masa ini, pendidikan di Indonesia mengalami penyempurnaan. Tujuan pendidikan dan pengajaran di Indonesia adalah membentuk manusia Indonesia yang susila, cakap, demokratis, bertanggung jawab demi kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

        Pelaksanaan pendidikan pada masa Orde Baru didasarkan pada Falsafah Negara Pancasila dengan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966 Bab II yang bertujuan membentuk manusia Pancasialis sejati berdasarkan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Pendidikan pada masa reformasi melalui UU No 22 tahun 1999 pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.

        Pada tahun 2003 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) menggantikan UU No. 2 tahun 1989 yang mengubah konsep pendidikan sehingga pendidikan dapat dipahami sebagai "usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangakan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

        Usaha dan upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia terus dilakukan dengan penyempurnaan-penyempurnaan perangkat pendidikan, di antaranya kurikulum. Penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 13 (Kurikulum tahun 2013), dengan berbagai revisinya serta Kurikulum Merdeka) adalah bagian dari upaya dan usaha dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Adapun banyak kekurangan di sana sini adalah bagian dari proses dan dinamika dalam menghadapi tantangan di bidang pendidikan. Intinya, pendidikan harus berpedoman pada konsep "memanusiakan manusia secara utuh, seutuh-utuhnya". Apa pun dan bagaimana pun kurikulumnya.

Seri Kuliah: Sejarah, Kedudukan, dan Fungsi Bahasa Indonesia

sumber gambar: https://www.kompasiana.com/



Silakan unduh PPT pada tautan berikut:

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

https://docs.google.com/presentation/d/14r-rn-8NXjy9K0GL6QUupv0KVdFrHQOT/edit?usp=sharing&ouid=101156531804308666788&rtpof=true&sd=true
 

Minggu, 12 Februari 2023

Legenda Sangkuriang dan Transformasinya dalam Karya Sastra

 

sumber gambar: https://www.dailysia.com/

Legenda Sangkuriang telah menjadi legenda yang paling dikenal masyarakat Sunda (Jawa Barat). Legenda ini menjadi legenda yang selalu dihubung-hubungkan dengan asal mula Gunung Tangkuban Prahu dan Lembah Bandung. Legenda Sangkuriang memiliki beberapa versi yang berbeda. Versi-versi ini terbentuk karena sifatnya yang dinamis dalam tradisi lisan. Legenda Sangkuriang mengalami transformasi tidak hanya ke dalam bentuk sastra tulis, tetapi bertransformasi pula ke dalam bentuk drama dan film.

Legenda Sangkuriang dapat dikatakan sebagai sebuah gambaran masyarakat Sunda yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan kesopanan serta penolakan mereka terhadap inses. Sebab, dalam beberapa versinya Sangkuriang selalu gagal menikahi Dayang Sumbi yang notabene adalah ibu kandungnya sendiri. Transformasi Legenda Sangkuriang dari tradisi lisan menjadi tradisi tulis/cetak, memiliki keunikan tersendiri. Artinya, perbedaan ataupun persamaan antara keduanya sangat menarik untuk diteliti. Kita akan ”menemui” Sangkuriang dari versi lisan dengan Sangkuriang versi Utuy Tatang Sontani, Sang Kuriang, yang sudah jelas-jelas merupakan transformasi dari versi legenda lisannya.

Pada versi tradisi lisan yang berkembang di masyarakat, Sangkuriang digambarkan sebagai sosok laki-laki sakti mandaraguna, dia adalah pemimpin para siluman, dia mampu membendung Sungai Citarum untuk dibuat telaga dan dia juga sanggup membuat perahu hanya dalam waktu semalam. Berbeda dengan penggambaran Sangkuriang versi Utuy Tatang Sontani, Sang Kuriang, Sangkuriang digambarkan sebagai seorang tokoh manusia yang mempunyai keteguhan dan prinsip yang kuat, dia tidak sakti, dia bukan pemimpin para siluman, dia hanya manusia yang sedang mencari kebenaran.

            Perbedaan penggambaran tersebut merupakan buah dari transformasi yang dilakukan Utuy pada drama yang ditulisnya. Utuy melihat bahwa dalam teks lisan, Sangkuriang menjadi tokoh antagonis yang selalu salah (pada berbagai versi tradisi lisan). Dalam dramanya, Utuy mengubah citra Sangkuriang sebagai tokoh antagonis menjadi tokoh yang kuat, teguh, dan mempunyai prinsip. Sangkuriang berani melamar Dayang Sumbi karena keyakinannya kalau Dayang Sumbi bukan ibunya. Alasan keyakinan Sangkuriang sangat berdasar, dia mengatakan bahwa kelahiran dirinya tidak disaksikan oleh orang lain. Sehingga dia sangat patut “curiga” akan kebenaran legenda bahwa dia adalah anak Dayang Sumbi dan Bujang tunadaksa (Tumang).

Keteguhan prinsip Sangkuriang versi Utuy ini dapat dilihat sampai akhir teks drama yang ditulisnya yaitu ketika Sangkuriang memilih mengakhiri hidupnya dengan menusukkan kujang yang juga digunakan Dayang Sumbi. Peristiwa ini mengingatkan kita pada peristiwa hara-kiri di Jepang. Upaya bunuh diri di Jepang adalah upaya untuk menyelamatkan prinsip dan harga diri serta keteguhan keyakinan yang dianut dan itu pula yang dilakukan oleh Sangkuriang pada teks drama Utuy.

Transformasi yang dilakukan Utuy dalam naskah drama Sang Kuriang menjadi antitesis dalam legenda versi tradisi lisan. Sangkuriang digambarkan dalam dua kutub yang berbeda. Keduanya seperti tarik-menarik dalam alur dan sekuen legenda sehingga ciri-ciri dari legenda tersebut tetap ada. Hal yang paling unik dari kedua certita tersebut adalah penolakan terhadap inses. Legenda Sangkuriang menjadi salah satu penjaga norma tentang tidak diperkenankannya inses dalam budaya Sunda. Hal ini tergambar dalam legenda Sangkuriang versi tradisi lisan ataupun versi transformasinya.


Disarikan oleh

Heri Isnaini

Sabtu, 11 Februari 2023

Konsep Cinta Puisi-Puisi SDD

 

Sumber gambar: https://www.kompas.com/parapuan/image/533546577

Artikel ini membahas konsep  cinta pada puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono. Konsep cinta seperti yang dikemukakan oleh Erich Fromm merupakan jawaban atas masalah pada eksistensi manusia. Konsep cinta yang universal dapat dilihat sebagai seni kehidupan (art of life) yang meliputi: cinta manusia kepada manusia, cinta manusia kepada alam, dan cinta manusia kepada tuhan. Masalah yang muncul dalam artikel ini adalah: bagaimana konsep cinta direpresentasi dalam puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono; serta bagaimana pemaknaan konsep cinta tersebut dilihat dari penggunaan tanda-tanda di dalam puisi. Berdasarkan permasalahan tersebut, konsep cinta  akan dibahas  pada kekuatan tanda yang hadir di dalam puisi.  Tanda-tanda tersebut kemudian dianalisis berdasarkan teori semiotika yang dikemukakan oleh Pierce, yakni dengan memperhatikan  representament, object, dan  interpretant. Di samping itu, artikel ini juga menunjukkan  hubungan (relasi) tanda dengan teks lain  dan penggunaan gaya bahasanya.  Pembahasan-pembahasannya kemudian bermuara pada pemaknaan  konsep  cinta yang terdapat pada puisi-puisi karya  Sapardi Djoko  Damono.  Akhirnya, pemaknaan konsep  cinta ini dapat dilihat sebagai konsep universal yang merujuk pada keperiadaan manusia sebagai bentuk eksistensinya di dunia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep cinta pada puisi-puisi Sapardi Djoko Damono ditemukan dalam tataran diksi, citraan, dan gaya bahasa. Konsep cinta yang ditemukan pada tataran struktur tersebut  menjadi bagian  penting  dalam memahami puisi secara keseluruhan dan memaknai puisi-puisi tersebut. 

 


Artikel lengkap dapat diunduh melalui tautan berikut

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

https://drive.google.com/file/d/1ieYXS5tQkuLxdqEsB7p-Cxc4hodwoYF4/view?usp=sharing

Budaya dalam Kajian

sumber gambar: https://www.dictio.id/t/

 

Budaya dapat dikaji dengan berbagai disiplin ilmu, seperti strukturalisme, pragmatik, dan semiotik. Jadi dengan kata lain, ada sumbangan yang diberikan oleh ilmu-ilmu tersebut dalam kajian budaya. Srukturalisme adalah paham yang menyatakan bahwa segala hal tidak dapat dipahami secara terpisah dari hal lain, melainkan harus dilihat dalam konteks struktur yang lebih besar. Paham strukturalisme bermula di Perancis pada tahun 1950-an dan pertama kali muncul dalam karya antropolog Clade Levi Strauss dan Roland Bhartes. Jadi, dengan kata lain pengkajian budaya harus dilihat sebagai satu struktur besar yang komprehensif dan tidak secara parsial. Misalnya, ketika kita mengkaji budaya Sunda, maka budaya Sunda tersebut harus dilihat secara menyeluruh dalam konteks yang utuh tidak terpisah. Artinya budaya Sunda secara keseluruhan bukan sebagian atau terpisah-pisah.

        Pragmatik melihat syarat-syarat suatu hal sebagai sebuah keserasian dan hal tersebut mempunyai “keuntungan” tersendiri. Di bidang Linguistik, pragmatik diartikan berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Penelitian kajian budaya juga tidak bisa terlepas dari pragmatik karena bagaimanapun peran pragmatik tidak bisa dihindari. Contohnya, ketika kita mengkaji bahasa suatu daerah yang mempunyai tingkatan-tingkatan –seperti di masyarakat Sunda- maka peran pragmatik dapat membantu kajian budaya tersebut.

        Selain strukturalisme dan pragmatik yang mempunyai peran penting dalam kajian budaya, semiotik pun berpengaruh karena semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda. Dalam mengkaji suatu budaya, sistem tanda tidak dapat dipisahkan. Contoh yang paling sederhana adalah penggunaan media “warna” di setiap daerah dengan kebudayaan berbeda tentu akan juga mempunyai perbedaan dalam penginterpretasiannya. Untuk orang yang meninggal dunia untuk sebagian masyarakat menggunakan bendera kuning, mungkin hal tersebut tidak berlaku untuk daerah yang lain. Begitupun tanda-tanda yang lain yang terangkum dalam sistem semiotika. Dengan demikian, strukturalisme, pragmatik, dan semiotika mempunyai peran yang tidak sepele dalam pengkajian budaya.

        Ketiga disiplin ilmu tersebut dapat membantu dalam mengkaji budaya. Selain itu, kecenderungan ragam budaya di Indonesia yang sangat majemuk dan beragam dapat dilihat sebagai ragam budaya dengan kriteria budaya kontak tinggi dan bersifat kolektivistik.

        Budaya masyarakat dengan budaya kontak tinggi adalah budaya masyarakat yang menggunakan kontak fisik sebagai bentuk penyampaian informasi secara implisit. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan budaya kontak tinggi karena memang selalu “mementingkan” kontak fisik untuk menyampaikan perasaan. Seperti: berjabat tangan, berpelukan, cipika-cipiki (semua menandakan keakraban dan rasa senang ketika bertemu dengan orang yang dianggap sudah dekat).

        Selain budaya kontak tinggi, masyarakat Indonesia juga bersifat kolektivistik. Artinya, jiwa kebersamaan dan gotong royongnya sangat tinggi. Sangat bergantung dengan orang-orang sekitarnya. Misalnya, di masyarakat kita sangat lumrah ketika membantu tetangga yang sedang membangun rumah, mengadakan resepsi, dan sebagainya. Jiwa kebersamaannya sangat tinggi, sehingga tidak salah dalam masyarakat kita ada ungkapan mangan ora mangan asal kumpul, ungkapan ini menandakan sifat masyarakat  kolektif.

 

disarikan oleh

Heri Isnaini



Kamis, 09 Februari 2023

The Concept of "Manunggaling Kawula Gusti" In SDD's Poetry

 

sumber gambar: https://kaliopak.com/

This article discussed the depiction of the concept of "Manunggaling Kawula Gusti" in Sapardi Djoko Damono’s  poetry. The concept of "Manunggaling Kawula Gusti" was  discussed based on metaphors  arised  from  diction and meaning of poetry. The discussion of the metaphor refered to the concept of the sign  arisen  in the structure of  the  poetry  based on  Carles Sanders Pierce’s concept of representament, object, and interpretant. In addition, how the signs relate to other texts and their relationship with the Javanese mysticism as part of the Islam-Javanese ideology were perused. Therefore, this article offers a comprehensive discussion of the "Manunggaling Kawula Gusti" concept that was embodied in the metaphor of divine love that was described through emptiness, emptiness, and oneness. 




Artikel lengkap dapat diunduh pada tautan berikut

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

https://drive.google.com/file/d/1l27Hn0vk6hB02-A9ZXaw8vqGzqw55YsE/view?usp=sharing

Senin, 06 Februari 2023

Tulisan dan Pelanggengan Kekuasaan

sumber gambar: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

Asal-muasal tulisan yang sampai saat ini masih diyakini adalah “tulisan pertama” yang lahir di Sumeria (Irak) sekitar 5.000 tahun yang lalu, sementara manusia sudah ada sejak 200.000 tahun yang lalu. Artinya, ada gap yang panjang antara keberadaan tulisan dan manusia. Manusia menggunakan tulisan didasari oleh dorongan kekuasaan karena menganggap ada yang harus diabadikan yang dianggap penting. Misalnya, seseorang yang berhasil membunuh beruang dalam perburuan karena dia ingin dianggap berkuasa dan pemberani maka dia menggambarkan peristiwa tersebut melalui goresan di dinding goa. Rajah dalam mantra juga ditulis karena ada keyakinan bahwa di dalamnya ada kekuatan dan kekuasaan dari otoritas kekuatan tertentu.

            Menulis bukanlah kegiatan sederhana yang hanya menggoreskan inskriptor pada media tertentu, melainkan sebuah proses yang berliku dan rumit. Ada mekanisme tersistem yang melatari kegiatan menulis. Ketika kita menulis (dalam bentuk apa pun) maka hasil dari proses tersebut adalah seuatu yang disebut tulisan. Proses ini mencakup proses mengalihkan ide, gagasan,  dan pikiran yang semula “ada” pada benak pikiran dikodifikasikan pada tulisan yang tergores di media lain, seperti, loh, batu, kulit, daun, kertas, dan media-media yang lainnya. Dengan catatan ada otoritas tertentu yang menghendaki tulisan tersebut dibuat dan digoreskan. Misalnya, perintah atau keinginan.

            Dalam bahasa Indonesia terdapat dua konstruksi kata pada pembentukan kata penulisan yang bermakna proses. Pertama, konstruksi kata [(peN-) + tulisan]. Kedua, konstruksi kata dengan konfiks [(peN-an) + tulis]. Perbedaan konstruksi ini akan menghasilkan pembacaan yang berbeda. Makna kata yang berarti proses menulis atau cara menulis yang cenderung mengarah pada proses membuat suatu produk adalah konstruksi kedua, sedangkan pada konstruksi yang pertama adalah suatu kegiatan yang sudah saya jelaskan di atas. Ada anomali tersendiri terutama pada penekanan dan konstruksi pembentukan katanya. Sehingga, akan muncul ketaksaan dalam pembacaan pada kata tersebut. Hemat saya, pembentukan kata “tulisan”, “menulis”, ataupun “penulisan” harus dibaca pada wacana yang tidak sempit. Ketiganya merupakan sebuah proses tertentu yang tidak sederhana dan sangat rumit. Tidak semudah yang dibayangkan karena pengertian ketiga kata tersebut akan meluas. Sepertinya kita harus melihat ketiga kata tersebut secara komprehensif. Tidak sebagian-sebagian.

            Ketika suara kekuasaan seorang raja ingin abadi maka suara tersebut dilanggengkan melalui tulisan, misalnya dalam prasasti. Di dalam prasasti tersebut gagasan dan suara seorang raja akan terpatri lama dan langgeng. Suaranya abadi, walaupun ada kekuatan yang hilang pada proses penggantian tersebut (bentuk suara ke dalam tulisan). Konteks penuturan seorang raja itu akan hilang, yakni peristiwa komunikasi antara penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat pendukungnya. Konteks yang hilang itu diganti dengan monumen tulisan yang kekal dalam prasasti.

            Dengan demikian, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, ungkap Chairil Anwar dan “Kau boleh pintar, tetapi tanpa menulis kau akan dilupakan sejarah”, seru Pramoedya Ananta Toer jelas menunjukkan bahwa menulis adalah salah satu cara dalam melanggengkan kekuasaan. Walaupun kita mengetahui tidak ada acara lain dalam keabadian, melainkan dengan menulis. Jadi, abadikan diri kita dengan menulis, tulisan, dan penulisan.


disarikan oleh

Heri Isnaini 



Minggu, 05 Februari 2023

Ideologi Islam-Jawa pada Kumpulan Puisi Mantra Orang Jawa Karya Sapardi Djoko Damono

sumber gambar: https://bangkitmedia.com/

 

Artikel ini menggambarkan ideologi Islam-Jawa pada kumpulan puisi Mantra Orang Jawa karya Sapardi Djoko Damono. Penggambaran ideologi tersebut dilihat berdasarkan konsep tanda yang muncul di dalamnya. Tanda-tanda tersebut kemudian dianalisis berdasarkan teori semiotika yang dikemukakan oleh Pierce, yakni dengan memperhatikan representament, object, dan interpretant. Di samping itu, artikel ini juga menunjukkan hubungan (relasi) tanda dengan teks lain. Pembahasan-pembahasan tersebut bermuara pada pemaknaan konsep ideologi Islam-Jawa yang direpresentasikan dalam kumpulan puisi Mantra Orang Jawa karya Sapardi Djoko Damono. Akhirnya, artikel ini menawarkan rekonstruksi klasifikasi masyarakat Islam Jawa yang cenderung aristokrat. Pengklasifikasian yang dikemukakan oleh Clifford Geertz, yakni santri, priayi, dan abangan  harus disempurnakan dengan ideologi Islam-Jawa yang menghindar dari syariat sentris sebagai bagian dari Islam normatif. 


Artikel lengkap dapat diunduh pada tautan berikut:

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

https://drive.google.com/file/d/1gFVCgz8Zn_cj622wEkDK0It8gpjF5cy1/view?usp=sharing

Manusia dan Kebudayaan

sumber gambar: http://rahayuputami22.blogspot.com/

(oleh: Yulia Herliani, Guru SMK Profita Bandung)

Setelah runtuhnya evolusi manusia yang dikemukakan oleh Darwin pada beberapa tahun belakangan ini. Orang-orang mulai menyadari bahwa manusia bukan merupakan makhluk biologis hasil evolusi alamiah. Keberadaan manusia tidak terlepas dari kesadarannya untuk mempertahankan hidup dengan budaya. Kebudayaanlah yang dapat membedakan manusia dengan makhluk biologis lainnya. Sehingga dia menjadi makhluk yang dapat bertahan dan mengembangkan diri sampai akhirnya menjadi makhluk yang menguasai dunia. Jadi, dengan kesadaran dan keyakinannya bahwa manusia adalah makhluk budaya yang terus berkembang dari hasil proses panjang sejarah, maka sudah barang tentu apa yang dilakukan adalah warisan dari budaya yang telah ada.

            Manusia menjadi “pengembang” kebudayaan dan menjadi pewaris yang wajib melestarikan dan membuat kebudayaan tersebut lebih maju ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, manusia dilahirkan sebagai makhluk budaya adalah hasil perkembangan historis yang penuh dengan perjuangan yang panjang, bukan semata-mata hasil dari evolusi yang alamiah.

            Bahasa merupakan salah satu hasil kebudayaan manusia. Melalui bahasa manusia berkembang dan melestarikan keberadaannya di muka bumi, dengan bahasa pula manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Begitu banyaknya bahasa yang beragam di dunia ini tetapi semua bahasa adalah produk dari budaya yang dihasilkan manusia. Contohnya, manusia senantiasa dapat berinteraksi dengan sesamanya melalui bahasa, (menyapa, mengobrol, bertanya, mengungkapkan kegembiraan, mengunkapkan kesedihan, dsb). Semuanya dapat diugkapkan melalui bahasa. Selain merupakan produk budaya, bahasa juga dapat menjadi pola-pola budaya itu sendiri. Di masyarakat Jawa dan Sunda, penggunaan bahasa ada beberapa tingkatan, tingkatan-tingkatan dalam berbahasa inilah yang di antaranya membentuk pola-pola budaya.

            Praktik komunikasi antarwarga masyarakat budaya sudah jelas akan menghasilkan pola-pola budaya tertentu. Misalnya, ketika orang berkomunikasi dengan orang yang lebih tua/dihormati maka komunikasi yang dilakukan akan sedikit formal, santun, tidak ceplas-ceplos, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan praktik komunikasi yang dilakukan seseorang dengan teman dekatnya, mungkin pola budaya yang akan muncul adalah: situasi keakraban, penuh candaan, dan sebagainya.

            Hal yang berkaitan pula dengan pola-pola budaya adalah tindakan sosial. Ketika seorang dari suatu budaya masyarakat melakukan sebuah tindakan sosial berarti dia telah menunjukkan pola budayanya. Misalnya, ketika ada seseorang yang sedang berjalan lalu berpapasan dengan orang yang lebih tua, maka tindakan “mengangguk” atau “tersenyum” atau “menyapa” adalah sebuah tindakan yang berarti dia telah membuat pola budayanya sendiri. Begitupun dengan contoh yang lain, misalnya berjabat tangan dengan seseorang ketika bertemu adalah tindakan sosial pada masyarakat budaya tetentu yang mencerminkan pola budaya tertentu pula.

            Pembentukan pola pikir juga berkaitan dengan pola-pola budaya. Misalnya, pola pikir masyarakat Sunda yang cenderung mengalah, kurang semangat, tidak merantau, dan sedikit pundungan (sensitif) adalah kecenderungan pola pikir yang ditanamkan pada masyarakat sejak lama sehingga pola pikir tersebut menjadi pola budaya, sehingga kita tidak akan heran ketika ada yang mengatakan orang Sunda, pasti yang muncul adalah pola pikir: mengalah, tidak mungkin merantau, kurang semangat, dan pundungan. Begitupun dengan pola pikir-pola pikir pada masyarakat budaya yang lain, misalnya pada masyarakat Padang, Batak, Jawa,dan sebagainya pola pikir pada masyarakat tersebut juga akan berkaitan dan bahkan membentuk pola budayanya.



Komunikasi Tokoh Pingkan dalam Merepresentasikan Konsep “Modern Meisje” Pada Novel Hujan Bulan Juni

sumber gambar: https://portaljepara.pikiran-rakyat.com/

 

Representasi tokoh perempuan dalam novel  Hujan Bulan Juni  karya Sapardi Djoko Damono didasari atas konsep “modern meisje” yang digagas Kartini. Konsep ini adalah implikasi atas presentasi perempuan mandiri yang dalam berbagai hal mampu menjadi tokoh berpengaruh dalam masyarakat. Konsep “modern meisje” direpresentasikan melalui tokoh Pingkan, tokoh perempuan dalam novel  Hujan Bulan Juni.  Pingkan digambarkan sebagai perempuan campuran Manado-Jawa yang memiliki karakter sebagai representasi “modern meisje”. Karakter ini dapat dilihat dalam berbagai tanda yang terlihat dalam penggambaran tokoh, baik dari penggambaran fisik, watak, sikap, dan dialog. Artikel ini bertujuan menunjukkan representasi tokoh Pingkan sebagai “modern meisje” sesuai dengan konsep feminis Kartini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitataif dengan menempatkan novel sebagai data penelitian. Selain itu, kajian feminis menjadi teori yang dijadikan dasar dan acuan dalam pembahasan. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa tokoh Pingkan merupakan sosok yang merepresentasi konsep “modern meisje” dalam pandangan Kartini. Representasi ini dapat dirujuk dalam konsep perempuan merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta berkepribadian halus. Representasi inilah yang disampaikan Kartini sebagai bagian dari wujud idealisme sosok perempuan modern dalam pandangan feminismenya.  


Artikel lengkapnya dapat diunduh pada tautan berikut

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

https://drive.google.com/file/d/12Gp0vzjN409-su8gZ-vQFHjnb95dUqSo/view?usp=sharing

Ihwal Tasawuf

  (Sumber gambar: https://langgar.co/) I stilah tasawuf berkembang pada abad III Hijriyah atau sekitar abad IV Masehi, yang sebelumnya diawa...