Judul:
Mantra Orang Jawa
Penulis:
Sapardi Djoko Damono
Penerbit:
Gramedia
Tahun:
Mei, 2020
Tebal:
viii+66 halaman
ISBN: 9786020642932
Kepergian
maestro sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono, 19 Juli 2020 meninggalkan
tangis dan duka yang mendalam sebab tidak banyak sastrawan Indonesia yang
memiliki kemampuan seperti SDD, sebutan untuk Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Guru
Besar Sastra, Universitas Indonesia. SDD sudah menulis banyak karya, seperti puisi,
cerpen, novel, karya terjemahan, teori sastra, esai, dan tulisan-tulisan yang
lain. Tulisan-tulisan SDD seringkali bersinggungan dengan budaya Jawa. Hal ini
tidak terlepas dari latar belakang budaya SDD sendiri yang lahir di Surakarta,
20 Maret 1940. Budaya Jawa sangat kental dalam karya-karyanya.
Mantra
Orang Jawa merupakan sehimpun puisi karya SDD yang diambil dari
tradisi masyarakat Nusantara (termasuk tradisi pada masyarakat Jawa), yakni
mantra. Dalam pengantar buku ini SDD menuliskan “Mantra yang ditulis kembali
dalam buku ini berasal dari berbagai sumber, lisan maupun tulisan, yang umur
dan asal-usulnya tidak mungkin lagi -dan tidak perlu- ditelusuri. SDD menyadari
bahwa tradisi mantra pada masyarakat Jawa sangat kental dan dekat dengan
kehidupan sehari-hari mereka.
Sehimpun
puisi pada Mantra Orang Jawa terdiri atas 59 puisi yang dijelaskan oleh
penulisnya berasal dari warisan leluhur. “Konon, di zaman lampau mantra
memiliki kekuatan yang bisa dimanfaatkan nenek moyang kita untuk berbagai
keperluan hidup sesuai dengan maksudnya”, begitu tulis SDD. Artinya, ke-59
puisi dalam buku ini menjadi menarik karena mengandung konsep teks mantra dalam
tradisi lisan. Salah satu ciri teks dalam tradisi lisan yang disebutkan oleh Danandjaja (2002: 46) adalah kata dan kalimat dalam puisi lisan tidak
berbentuk bebas (free phase)
melainkan terikat (fix phase). Artinya,
ada konvensi dalam tradisi mantra, seperti ada diksi yang menunjukkan tujuan
mantra; ada perulangan kata atau bunyi; ada daya sugesti melalui kata dan
kalimat tertentu; dan ada efek magis ketika dibaca, terutama ketika dibaca
nyaring. Puisi-puisi dalam Mantra Orang Jawa sudah memenuhi kriteria
tersebut.
“Dalam
buku ini (mantra) telah saya jadikan puisi, tidak perlu dikait-kaitkan dengan
maksud penciptaannya dulu, meskipun tetap harus dilisankan” Tulis SDD masih
dalam kata pengantar buku ini. Dengan kata lain, SDD ingin menunjukkan
puisi-puisi yang ada dalam Mantra Orang Jawa masih dianggap memiliki
tradisi kelisanan dan ada beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa puisi yang
digubah SDD memang berasal dari tradisi lisan.
Berangkat
dari pembahasan tersebut, puisi-puisi
yang dihimpun dalam Mantra Orang Jawa dapat dimaknai sebagai proses membidas
citra manusia Jawa dalam memaknai hidup dan kehidupan. Hidup, bagi masyarakat
Jawa, dapat dipahami sebagai perjalanan menuju tujuan hidup, yakni Tuhan.
Perjalanan ini seringkali diwujudkan dengan metafora seperti perjalanan air
menuju samudera. Perjalanan yang panjang dan penuh liku itu akan dibangun
melalui kesadaran sangkan paraning dumadi (asal usul manusia). Kesadaran
ini dapat dilihat dari 3 fase kehidupan manusia, yakni: kelahiran, kehidupan,
dan kematian.
Puisi-puisi dalam Mantra Orang Jawa merepresentasikan
ketiga fase tersebut. Puisi pertama dalam kumpulan ini adalah puisi “Asal-Muasal Manusia” dan “Mantra Hari
Lahir”. Kedua puisi tersebut jelas merepresentasikan kesadaran akan asal
permulaan manusia, yakni proses kelahiran.
tak terbatas nama air
dari suci alir air
bagai intan ombak air
inti intan zat air
raja intan sempurnanya
air
(Damono, 2020: 1)
Larik-larik tersebut
berasal dari puisi “Asal-Muasal Manusia) yang menjelaskan bahwa air merupakan
zat yang mengawali proses kelahiran manusia, atau yang menjadi musabab adanya
manusia. Air yang menjadi asal-usul manusia adalah air suci yang mangalir (larik kedua). Air tersebut merupakan inti
dari zat air. Dalam terminologi Islam, air adalah zat yang menjadi pokok
hadirnya kehidupan. Seperti dijelaskan pada surat al-Anbiya ayat 30 “Kami
ciptakan dari air segala yang hidup”, termasuk asal-usul manusia yang
diciptakan dari saripati tanah (air mani). Larik-larik berikut dapat memperjelas posisi air dalam konteks
ini.
Fase kehidupan menjadi fase kedua setelah
manusia dilahirkan, fase ini akan dilalui oleh manusia sangat beragam, sesuai
dengan jatah umur yang diberikan Tuhan. akan tetapi fase kehidupan ini dibangun
dengan proses, sehingga fase ini adalah fase yang paling panjang, karena di
dalamnya terdapat rintangan dalam mencapai tujuan. Dalam buku ini, ada banyak
puisi yang merepresentasikan proses kehidupan, yakni menggambarkan
keinginan-keinginan manusia, seperti pada puisi: “Mantra Agar Dikasihi”,
“Mantra Pengasihan”, “Mantra Sakit Encok”, “Mantra Menyapih Anak”, “Mantra
Bersenggama”, sampai pada puisi yang ditujukan untuk memperoleh kekuatan,
seperti “Mantra Menggenggam Kilat” dan “Aji Limunan”. Pada fase ini citra
manusia Jawa diwujudkan dengan banyaknya keinginan yang harus terwujud dengan
bantuan kekuatan di luar dirinya. Kesadaran akan kelemahan diri, merupakan
salah satu bentuk citra manusia Jawa.
Fase ketiga adalah fase kematian. Fase ini
adalah fase akhir dalam konsep ajaran mistik sangkan paraning dumadi dan
merupakan awal dari perjalanan menapaki tujuan kehidupan, yakni Tuhan.
Kematian pada masyarakat Jawa dimaknai
sebagai permulaan kehidupan karena ada konsep urip sajroning mati (hidup
di dalam kematian). Kesadaran ini merupakan kesadaran yang tingi dalam memahami
hidup, kehidupan, dan Yang Mahahidup. Dalam buku ini puisi ke-59 merepresentasikan
citra kesadaran manusia Jawa dalam memahami kematian. Puisi dengan judul “Mantra
Menjelang Tidur” menggambarkan konsep tersebut.
aku berniat tidur
berkasur raga
berbantal nyawa
berselimut sukma
dijaga para bidadari
nikmat mulia sejati
(Damono, 2020: 64)
Puisi tersebut dengan jelas menjadi bagian untuk
pemahaman konsep kematian dalam kesadaran citra manusia Jawa menggapai tujuan
dari kehidupan, yakni /nikmat mulia sejati/.
Buku puisi Mantra Orang Jawa sangat
relevan dalam membidas citra manusia Jawa dalam memahami hidup dan kehidupan.
Melalui diksi yang sederhana, SDD menjadikan mantra tidak mistis lagi,
melainkan menjadi puisi romantis dan berwibawa. Sebagai penutup, saya kutip
tulisan SDD dalam postliminaries buku Mantra Orang Jawa “Jika
dalam masyarakat lampau orang percaya akan khasiat mantra Jawa, yang saya tulis
kembali ini harap dianggap sebagai puisi yang disesuaikan dengan sejumlah ciri
bentuk mantra Jawa. Namun jika ada yang berniat megembalikannya pada fungsinya
semula, sila saja. Siapa tahu bisa kesampaian juga maksudnya”.
-Tulisan ini saya dedikasikan untuk Mahaguru, Sapardi
Djoko Damono, semoga tenang di Samudera Illahi, Alfatihah..-
disarikan oleh
Heri Isnaini