Postingan Populer

Senin, 06 Februari 2023

Tulisan dan Pelanggengan Kekuasaan

sumber gambar: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/

Asal-muasal tulisan yang sampai saat ini masih diyakini adalah “tulisan pertama” yang lahir di Sumeria (Irak) sekitar 5.000 tahun yang lalu, sementara manusia sudah ada sejak 200.000 tahun yang lalu. Artinya, ada gap yang panjang antara keberadaan tulisan dan manusia. Manusia menggunakan tulisan didasari oleh dorongan kekuasaan karena menganggap ada yang harus diabadikan yang dianggap penting. Misalnya, seseorang yang berhasil membunuh beruang dalam perburuan karena dia ingin dianggap berkuasa dan pemberani maka dia menggambarkan peristiwa tersebut melalui goresan di dinding goa. Rajah dalam mantra juga ditulis karena ada keyakinan bahwa di dalamnya ada kekuatan dan kekuasaan dari otoritas kekuatan tertentu.

            Menulis bukanlah kegiatan sederhana yang hanya menggoreskan inskriptor pada media tertentu, melainkan sebuah proses yang berliku dan rumit. Ada mekanisme tersistem yang melatari kegiatan menulis. Ketika kita menulis (dalam bentuk apa pun) maka hasil dari proses tersebut adalah seuatu yang disebut tulisan. Proses ini mencakup proses mengalihkan ide, gagasan,  dan pikiran yang semula “ada” pada benak pikiran dikodifikasikan pada tulisan yang tergores di media lain, seperti, loh, batu, kulit, daun, kertas, dan media-media yang lainnya. Dengan catatan ada otoritas tertentu yang menghendaki tulisan tersebut dibuat dan digoreskan. Misalnya, perintah atau keinginan.

            Dalam bahasa Indonesia terdapat dua konstruksi kata pada pembentukan kata penulisan yang bermakna proses. Pertama, konstruksi kata [(peN-) + tulisan]. Kedua, konstruksi kata dengan konfiks [(peN-an) + tulis]. Perbedaan konstruksi ini akan menghasilkan pembacaan yang berbeda. Makna kata yang berarti proses menulis atau cara menulis yang cenderung mengarah pada proses membuat suatu produk adalah konstruksi kedua, sedangkan pada konstruksi yang pertama adalah suatu kegiatan yang sudah saya jelaskan di atas. Ada anomali tersendiri terutama pada penekanan dan konstruksi pembentukan katanya. Sehingga, akan muncul ketaksaan dalam pembacaan pada kata tersebut. Hemat saya, pembentukan kata “tulisan”, “menulis”, ataupun “penulisan” harus dibaca pada wacana yang tidak sempit. Ketiganya merupakan sebuah proses tertentu yang tidak sederhana dan sangat rumit. Tidak semudah yang dibayangkan karena pengertian ketiga kata tersebut akan meluas. Sepertinya kita harus melihat ketiga kata tersebut secara komprehensif. Tidak sebagian-sebagian.

            Ketika suara kekuasaan seorang raja ingin abadi maka suara tersebut dilanggengkan melalui tulisan, misalnya dalam prasasti. Di dalam prasasti tersebut gagasan dan suara seorang raja akan terpatri lama dan langgeng. Suaranya abadi, walaupun ada kekuatan yang hilang pada proses penggantian tersebut (bentuk suara ke dalam tulisan). Konteks penuturan seorang raja itu akan hilang, yakni peristiwa komunikasi antara penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat pendukungnya. Konteks yang hilang itu diganti dengan monumen tulisan yang kekal dalam prasasti.

            Dengan demikian, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, ungkap Chairil Anwar dan “Kau boleh pintar, tetapi tanpa menulis kau akan dilupakan sejarah”, seru Pramoedya Ananta Toer jelas menunjukkan bahwa menulis adalah salah satu cara dalam melanggengkan kekuasaan. Walaupun kita mengetahui tidak ada acara lain dalam keabadian, melainkan dengan menulis. Jadi, abadikan diri kita dengan menulis, tulisan, dan penulisan.


disarikan oleh

Heri Isnaini 



2 komentar:

  1. Apakah ini dikembangkan dari sebuah gambaran yang bermakna hingga mengembangkannya menjadi sebuah tulisan yang mereka buat

    BalasHapus
  2. Saya kira juga begitu, tapi berevolusi dalam waktu yang sangat panjang. Perlu diskusi serius untuk membuktikannya

    BalasHapus

Cerpen: Makam Keramat Mbah Uyut

Baca cerpen lengkapnya di tautan berikut https://tebuireng.online/makam-keramat-mbah-uyut/