Postingan Populer

Kamis, 13 Januari 2022

Artikel Jurnal 2012-2018

 1. Ideologi Islam-Jawa Pada Kumpulan Puisi "Mantra Orang Jawa" Karya Sapardi Djoko Damono" (https://madah.kemdikbud.go.id/index.php/madah/article/view/140)

2. Analisis Semiotika Sajak "Tuan" Karya Sapardi Djoko Damono (http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/Deiksis/article/view/638)

3. Memburu Cinta dengan Mantra (http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/semantik/article/view/444)

4. Gagasan Tasawuf Pada Puisi "Isyarat" Karya Kuntowijoyo (http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/semantik/article/view/281)


Artikel Jurnal 2019

1. Ideologi pada Sajak "Prologue" Karya Sapardi Djoko Damono (http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/arkhais/article/view/11152)

2. Konsep Manunggaling Kawula Gusti Pada Puisi-Puisi Sapardi Djoko Damono (http://jurnal.idebahasa.or.id/index.php/Idebahasa/article/view/26)

3. Pembelajaran Teks Anekdot dengan Menggunakan Media Video Animasi Pada Siswa Kelas X (https://e-journal.my.id/onoma/article/view/128)

4. Penyuluhan Penyusunan Bahan Ajar Bahasa Indonesia yang Inovatif (https://ejournal.uniska-kediri.ac.id/index.php/CENDEKIA/article/view/601/492)

5. Pembelajaran Memahami Karya Sastra sebagai Bagian Pembelajaran Kritik Sastra Pada Siswa Sekolah Menengah Atas (https://prosiding.unma.ac.id/index.php/semnasfkip/article/view/155/154)

Artikel Jurnal 2020

 1. Representasi Ideologi Jawa Pada Puisi-Puisi Karya Sapardi Djoko Damono (https://online-journal.unja.ac.id/pena/article/view/9343)

2. Penyuluhan Pentingnya Literasi di Masa Pandemik Pada Siswa SMK Profita Bandung (https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/cdj/article/view/975)

3. Penyuluhan Pembelajaran Menulis Puisi Berbasis Karakter di SMK Profita Kota Bandung (https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/cdj/article/view/707)

Artikel Jurnal 2021

 1. Konsep Memayu Hayuning Bawana: Analisis Hermeneutika pada Puisi-Puisi Sapardi Djoko Damono (https://journal.unpas.ac.id/index.php/literasi/article/view/2849)

2. Konsep Cinta pada Puisi-Puisi Karya Sapardi Djoko Damono: Analisis Semiotika Carles Sanders Pierce (https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SH/article/view/436)

3. Nilai Budaya dalam Puisi "Madura, Akulah Darahmu" Karya D. Zawawi Imron (https://journal.stkipsubang.ac.id/index.php/aksentuasi/article/view/188)

4. Membangun Literasi dan Kreativitas di Masa Pandemi Covid 19 (https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/cdj/article/view/2586)

5. Mahasiswa dan Agen Perubahan pada Puisi "Sajak Pertemuan Mahasiswa" Karya W.S. Rendra: Analisis Struktur Levi-Strauss (http://linguasusastra.ppj.unp.ac.id/index.php/LS/article/view/37)

6. Campur Kode Sudjiwo Tedjo dalam Dialog Interaktif Indonesia Lawyer Club (https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/disastra/article/view/3714/2975)




Selasa, 11 Januari 2022

Ideologi dan Karya Sastra

            Karya sastra tidak jatuh secara tiba-tiba dari langit. Dia adalah hasil renungan, kontemplasi, dan imajinasi pengarang yang dilahirkan dari tengah-tengah masyarakat dan budaya tertentu. Karya sastra juga mewakili semangat zaman dan periode sejarah tertentu. Pada ruang, waktu, tempat, dan budaya yang berbeda niscaya akan dihasilkan karya sastra yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan itu menunjukkan bahwa setiap karya sastra memiliki tendensi gagasan dan ideologi tertentu. Ideologi politik, agama, ekonomi, sosial, dan budaya sering menjadi tema dan latar dalam karya sastra yang notabene menjadi bagian dari representasi historis pada zaman, waktu, dan tempat karya sastra itu dilahirkan.
            Ideologi adalah ilmu tentang ide atau gagasan. Kata “gagasan” di dalam bahasa Indonesia terbentuk dari kata dasar “gagas” yang mempunyai arti “memikirkan sesuatu” (KBBI). Akhiran “-an” yang melekat pada kata dasar gagas berfungsi menominalisasi kata yang mempunyai arti hasil. Dengan demikian, gagasan dapat diartikan sebagai “hasil pemikiran” dan/atau “ide”. Ideologi dapat dipahami berkaitan dengan tanda. Tanda-tanda dalam ideologi dapat dipahami melalui tataran abstrak, distorsi realitas, dan pikiran yang diilusikan.
           Nilai-nilai ideologi yang terkandung dalam karya sastra merupakan sebuah keniscayaan karena karya sastra yang sering kita baca adalah karya yang tidak otonom. Di dalamnya ada keterkaitan antara karya sastra tersebut dengan hal-hal lain di luarnya, hal-hal yang bersifat ideologis. Keterkaitan tersebut yang menyebabkan karya sastra menarik untuk diteliti dan tidak hanya sebatas untuk dibaca saja, tetapi lebih jauh lagi, yakni kita dapat melihat keterkaitannya dengan hal-hal lain di luarnya, misalnya keterkaitannya dengan ideologi tertentu. 
            Karya sastra sengaja diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Kalimat ini secara eksplisit menjelaskan bahwa dalam karya sastra (baik itu puisi, novel, maupun drama) ada “sesuatu” yang dapat dipelajari dan dimanfaatkan oleh masyarakat, “sesuatu” tersebut dapat adalah “ideologi”. Ideologi-ideologi yang tertuang di dalam karya sastra tersebut seringkali implisit dan “dikemas” dalam suatu seni sastra, sehingga karya tersebut harus dipelajari dalam kaitannya yang ganda, yaitu antara ideologi yang terkandung dalam karya sastra tersebut sekaligus keunikannya sebagai seni sastra.
            Ideologi yang masuk pada wilayah yang membahas tataran ide, keyakinan, kepercayaan, imajinasi tentang diri dan kelompok, dalam karya dapat direpresentasi melalui tataran tanda dan imaji. Dengan demikian, pembahasan mengenai ideologi dapat dilihat berdasarkan tanda yang merepresentasi gagasan-gagasan abstrak di dalamnya. Keabstrakan ideologi dalam karya sastra akan lebih mudah dipahami dengan melihat konvensi genre sastra itu sendiri. Puisi, prosa, dan drama sebagai bagian dari genre sastra yang di dalamnya menyimpan tendensi ideologi tertentu. Untuk itu, keterkaitan keduanya perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal ini disebabkan ideologi dalam karya sastra dapat mewakili pemahaman kita terhadap pola pikir masyarakat pada zaman, waktu, dan tempat dilahirkannya karya sastra itu.
 
Heri Isnaini

Manusia, Penalaran, dan Kehidupan

 

Manusia diciptakan Tuhan dengan dibekali kemampuan akal yang sempurna. Dengan kemampuan ini, manusia dapat mengembangkan kebudayaannya pada taraf yang sangat tinggi. Ada 3 kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia, yakni: kognitif, afektif, dan konatif. Ketiganya, menjadi modal manusia dalam mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik. Kemampuan kognitif adalah kemampuan manusia yang berlandaskan rasio/akal. Kemampuan ini lebih ke arah mendalami, mengerti, menghayati, dan mengingat apa yang diketahui.

Kemampuan afektif adalah kemampuan yang berlandaskan rasa. Kemampuan afektif  bersifat tidak netral, rasa menghubungkan manusia dengan sumber kegaiban. Melalui rasa, manusia dapat merasakan apa yang diketahuinya sehingga dengan rasa pula manusia lebih menjadi manusiawi. Sedangkan kemampuan konatif adalah kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan, konatif merupakan daya untuk mencapai atau menjauhi apa yang didikte oleh rasa. Dengan kata lain, Kognitif adalah kemampuan untuk mengetahui dengan rasio/akal yang dapat dirasakan dengan afektif  kemudian konatif adalah kemampuan atau daya untuk mencapai/menjauhi apapun yang didikte rasa.

Ketiga kemampuan tersebut berkelindan menjadi kekuatan yang dapat menjadikan manusia lebih beradab. Manusia mempunyai kesadaran untuk dasar berfungsinya ketiga kemampuan yang dimiliki (kognitif, afektif, dan konatif) yang disebut kesadaran consciousness yang menjadi bukti keperiadaan manusia itu sendiri (eksistensi).

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Artinya, ada keterkaitan pengetahuan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Agar pengetahuan yang dihasilkan melalui penalaran tersebut mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara dan prosedur tertentu. Penarikan kesimpulan dari proses berpikir dianggap valid (sahih) bila proses berpikir tersebut dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan seperti ini disebut sebagai logika.

Dalam penalaran ilmiah, sebagai proses untuk mencapai kebenaran ilmiah dikenal dua jenis cara penarikan kesimpulan yaitu logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif berkaitan erat dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata yang sifatnya khusus dan telah diakui kebenarannya secara ilmiah menjadi sebuah kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif adalah penarikan kesimpulan yang diperoleh dari kasus yang sifatnya umum menjadi sebuah kesimpulan yang ruang lingkupnya lebih bersifat individual atau khusus. Atau dengan kata lain bisa didefinisikan, logika deduktif adalah penalaran yang dimulai secara umum (a-priori) dan berakhir secara khusus (pengetahuan analitik). Sebaliknya, logika induktif adalah penalaran yang dimulai secara khusus (a-posteriori) dan berakhir secara umum (pengetahuan sintetik).

Dengan demikian, proses untuk mencapai kebenaran ilmiah baik melalui logika induktif  maupun dengan logika deduktif dilakukan melalui kemampuan kognitif (kemampuan rasio/akal/IQ), kemampuan afektif (rasa/kreatifitas/ESQ), dan kemampuan konatif (karsa/will). Manusia mempunyai kesadaran untuk dasar berfungsinya ketiga kemampuan yang dimiliki tersebut (kognitif, afektif, dan konatif) yang disebut kesadaran consciousness. Kesadaran consciousness tersebut adalah modal dasar manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan cara penalaran, baik secara deduktif ataupun induktif. Sebab, kesadaran consciousness menjadi bukti keperiadaan manusia (eksistensi). Keperiadaan manusia itu juga ditandai dengan perolehan ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan cara befikir melalui penalaran. Dengan kata lain, ada hubungan yang sangat mendasar antara kemampuan manusia dengan penalaran.

Artikel pernah terbit di e-koran Telik, 4 Desember 2020

Heri Isnaini

Pusaran Ambivalensi Pendidikan Indonesia

Pendidikan Indonesia dengan segala bentuk permasalahannya menjadi benang kusut yang semakin hari semakin sulit terurai. Pola-pola pendidikan yang dinilai hanya menyentuh aspek artifisial disinyalir memperumit benang yang sudah semakin bersengkarut, alih-alih mengurai benang tersebut yang terjadi justru sebaliknya.
            Pendidikan merupakan salah satu cita-cita bangsa kita yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi hukum dasar tertulis (basic law) negara kita, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kata mencerdaskan berarti menjadikan bangsa kita memiliki kesempurnaan dalam berpikir, mengerti, memahami, dan sebagainya. Hal ini tentu saja menjadi tugas bersama dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Elemen-elemen bangsa harus bersatu padu membangun upaya konstruktif dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan.
            Indonesia dalam perjalanan historisnya telah mengalami pasang surut di bidang pendidikan. Pada zaman Van Den Bosch (1830-1834) Pemerintah kolonial membuka pendidikan untuk keperluan kolonialisme mereka, yakni memanfaatkan pribumi sebagai pegawai yang bisa membaca dan menulis. Walaupun pendidikan pada saat itu masih terbatas untuk kaum bangsawan priyayi dan kaum kulit putih saja, tetapi upaya mengenalkan pendidikan dan sekolah menjadi kemajuan dalam sejarah pendidikan kita.
Upaya-upaya pemerintah kolonial dalam memajukan pendidikan terjadi pada tahun 1892 ketika Pemerintah Kolonial mengizinkan dan membuka sekolah rendah untuk pribumi. Pendidikan saat itu masih didominasi oleh kebijakan yang menguntungkan bangsa Belanda. Pendidikan untuk bangsa Belanda yang ada pada waktu itu disebut Sekolah Kelas 1 dengan lama pendidikan 7 tahun dengan fokus pembelajaran pada ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat, menggambar, dan ilmu mengukur tanah. Sementara itu, kaum pribumi yang didominasi bangsawan priayi mengenyam pendidikan yang disebut Sekolah Kelas 2 dengan lama pendidikan 3 tahun dengan fokus pada pembelajaran berhitung, menulis, dan membaca.
Setelah Indonesia menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, arah pendidikan di Negara ini berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila. Arah pendidikan yang seyogyanya mengayomi seluruh warga Negara secara tidak disadari ternyata bersifat ambivalensi. Hal ini sering terjadi ketika ada upaya di satu sisi ingin mewujudkan cita-cita mencerdaskan bangsa, tetapi di sisi lain ada kabijakan sebaliknya, misalnya dalam hal efektivitas pendidikan, efisiensi pembelajaran, dan standardisasi pengajaran.
Pusaran ambivalensi pendidikan ini seringkali berkutat pada hal-hal yang saling berkelindan dan berkaitan, misalnya salah satu wujud rendahnya kualitas pendidikan kita adalah kualitas guru. Guru yang diharapkan menjadi ujung tombak memperbaiki kualitas pendidikan tidak dijamin kesejahterannya, sementara tugas mereka sangatlah berat, “mencerdaskan anak bangsa” sehingga yang terjadi adalah para guru akan mencari kesejahteraan untuk hidupnya dari profesi yang lain. Sebagai contoh yang lain, misalnya, masalah sarana fisik sekolah yang tidak merata. Ada sekolah dengan sarana fisik yang sangat mewah dan ada pula sekolah dengan sarana fisik alakadarnya. Keduanya pun jadi ambivalensi lagi, karena sekolah yang mewah tentu saja berbanding lurus dengan biaya pendidikannya yang mahal, sedangkan sekolah alakadarnya akan melaksanakan pendidikan dengan alakadarnya juga. Sengkarutnya pusaran ambivalensi pendidikan kita harus diurai sedikit demi sedikit tidak bisa instan dengan saling menyalahkan.
Upaya-upaya yang bisa kita lakukan untuk mengurai ambivalensi ini tentu saja harus seiring sejalan dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Ketika ada upaya pemerintah dengan menerbitkan kebijakan maka kita harus mempelajari kebijakan itu dan mendukung ketika kebijakan tersebut sesuai dengan cita-cita bangsa dan mengoreksi ketika ada yang tidak sesuai. Menurut saya, hal-hal semacam ini yang sedikit demi sedikit akan mengurai benang kusut pendidikan di Negara kita. Terurainya benang kusut pendidikan ini tentu saja akan sejalan dengan cita-cita bangsa kita, yakni menjadi Negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Semoga!

Artikel pernah terbit di e-koran Telik, 30 Oktober 2020 
Heri Isnaini


 

Ihwal Tasawuf

  (Sumber gambar: https://langgar.co/) I stilah tasawuf berkembang pada abad III Hijriyah atau sekitar abad IV Masehi, yang sebelumnya diawa...