Postingan Populer

Kamis, 22 September 2022

Anton Chekhov dan Humor Rusia

 

Kesusteraan Rusia terutama di bidang drama dan prosa sepertinya tidak bisa dipisahkan dari nama Anton Pavlovich Chekhov  (29 Januari 186015 Juli 1904) sastrawan yang dilahirkan di Taganrog, sebuah pelabuhan kecil di desa kecil di Laut Azov, Rusia Selatan. Anton Chekhov adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Chekhov  “jatuh cinta” dengan dunia teater dan sastra sejak masa kanak-kanak, hal ini dikarenakan pengaruh dari ibunya, Yevgeniya, seorang juru cerita yang hebat dan diduga bakat Chekhov  berasal dari pengaruh ibunya tersebut.

Chekhov  sangat produktif  menulis, terbukti dengan usia yang relatif singkat (dia meninggal karena TBC pada usia 44 tahun) Karya-karyanya yang sangat berpengaruh, terutama dalam bidang prosa dan drama. Di antara karyanya adalah: That Worthless Fellow Platonov (1881); The Proposal (1888); The Wedding (1889); The Seagull (1896); dan karya-karyanya yang lain. Beberapa karya Chekhov seringkali menunjukkan situasi humor khas yang berbeda dengan gaya humor pada karya yang lain.

Humor Chekhov adalah gaya humor khas Rusia, yakni menggambarkan suatu peristiwa atau situasi kondisi yang sama sekali bebas nilai. Sebagai contoh pada karya The Proposal (Pinangan) drama satu babak yang mengetengahkan adegan “salah paham” antara tokoh-tokohnya. Pada drama ini Chekhov  memperkenalkan tiga tokoh: Stepan Stepanovitch Chubukov (tuan tanah); Natalya Stepanovva (anak perempuan Chubukov berumur 25 tahun); dan Ivan Vassilevitch Lomov (tetangga Chubukov, tegap, kuat, bersemangat tetapi sangat bersifat curiga). Lomov bertamu ke rumah Chubukov dengan niat untuk melamar Natalya tetapi niatan baik tersebut malah berubah menjadi adegan “marah-marahan” karena kesalahpahaman masalah kepemilikan tanah. Lomov dan Natalya serta Chubukov bersitegang dan saling mengejek untuk “kemenangan” diri mereka masing-masing. Natalya tidak tahu bahwa kedatangan Lomov ke rumahnya adalah untuk meminang dirinya. Setelah Lomov diusir barulah Natalya mengetahui bahwa Lomov datang untuk meminang. Natalya menyesal, akhirnya dia memangil kembali Lomov.  Begitu Lomov kembali ke rumah Natalya. Mereka kembali bertengkar mengenai masalah yang lain.

Konteks “salah paham” menjadi ciri khas Chekhov dalam berhumor. Terkadang, humor dari Chekhov tidak mutlak terkait dengan kesan lucu atau selalu menimbulkan dampak tertawa. Humornya terkesan mandiri dan independen, yakni humor dapat menimbulkan perasaan senang sampai perasaan haru yang tidak terlukiskan. Kelebihan Chekhov dalam membangun humor pada karyanya diwujudkan dengan peristiwa kesalahpahaman, kebohongan, dan pertengkaran yang bergerak dalam alur yang sama pada satu adegan.

            Selain itu, posisi pembaca menjadi kunci terciptanya unsur humor Chekhov. Pengarang drama ini sangat lihai membawa suasana humor yang “cerdas”. Sesungguhnya humor pada drama Chekhov seungguhnya ada di benak para pembaca sendiri. Salah satu cara membawakan humor yang cerdas tesebut adalah dengan menggunakan teknik sudut pendang orang ketiga mahatahu. Pengarang memosisikan diri sebagai orang ketiga yang berimbas juga pada posisi pembaca ketika menikmati drama ini. Unsur-unsur inilah yang membangun ciri khas humor Rusia versi Anton Pavlovich Chekhov.


Heri Isnaini (IKIP Siliwangi)

Bahasa Santun Cermin Budaya Bangsa

oleh

Yulia Herliani (Guru SMK Profita Bandung)

    

        Kemampuan berbahasa secara baik adalah salah satu indikator keberhasilan sebuah pembangunan karakter bangsa yang besar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk mengembangkan bahasa dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tidak hanya disimpan dalam buku-buku tebal yang berlabel “Tata Bahasa Baku” atau “Ejaan”, melainkan terpatri dalam budaya berbahasa yang tercermin pada penggunaannya pada kehidupan sehari-hari. Baik secara formal atau nonformal.

Aplikasi budaya berbahasa yang santun tidak  akan lepas dari budaya mendidik dari titik awal pembelajaran anak, yaitu dari usia dini. Anak harus sudah terbiasa menggunakan bahasa yang santun, terbiasa menggunakan bahasa yang efektif dan terbiasa menempatkan bahasa sesuai dengan proporsinya dengan tepat. Anak-anak harus bisa membedakan bagaimana berbahasa yang santun dengan orang-orang dalam kondisi dan situasi tertentu.

Hal ini bertolak belakang dengan keadaan anak-anak kita sekarang ini. Anak-anak kita sudah jauh melenceng dalam menggunakan bahasa secara benar. Kesantunan dalam berbahasa pun seakan lenyap. Sudah tidak ada lagi pembeda penggunaan bahasa pada situasi yang formal dan nonformal. Semuanya bercampur aduk menjadi bahasa yang tidak berkarakter. Keadaan ini diperparah karena ketidaksantunan berbahasa justru terjadi di lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah, bahkan sampai ke kampus-kampus. Sungguh ironis! Kita tidak akan sulit menemukan anak-anak didik kita mengucapkan kata-kata yang sangat tidak sopan (misalnya, menggunakan kata-kata binatang, kata-kata jorok, dan sebagainya). Semuanya diangap enteng dan dianggap “benar” karena memang tidak ada pranata yang mengaturnya. Kita hanya bisa menggelengkan kepala atau paling banter mengelus dada tanda bahwa kita ikut prihatin terhadap keadaan seperti ini.

Mau dibawa kemana “bahasa santun” kita? Pertanyaan ini harus selalu didendangkan di hati dan sanubari setiap orang –tidak hanya bagi guru bahasa- karena kesantunan berbahasa generasi  muda kita adalah modal awal yang sangat penting untuk kelangsungan bangsa kita di masa yang akan datang. Sangat miris memang, ketika kita melihat di negara kita terjadi kerusuhan, pengrusakan dan lain sebagainya hanya dikarenakan “bahasa” yang salah ditafsirkan. Sebetulnya, kesantunan berbahasa pada budaya bahasa kita sudah diakomodasi oleh kaidah dan tata bahasa. Di dalam bahasa Indonesia kita mengenal ada istilah ameliorasi dan peyorasi. Ameliorasi adalah penggunaan bahasa dengan nilai rasa halus, sedangkan peyorasi adalah penggunaan bahasa dengan nilai rasa kasar. Jadi, kalau kita mengikuti aturan yang berlaku sesungguhnya budaya santun berbahasa dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Permasalahannya sekarang adalah apakah penggunaan ameliorasi dan peyorasi itu sudah tepat sasaran? Ataukah lagi-lagi hanya sebuah catatan panjang yang tertulis pada buku-buku tebal yang terpampang usang di perpustakaan? Semua pertanyaan-pertanyaan itu adalah PR kita bersama dalam mendidik anak-anak kita agar tetap santun berbahasa. Saya sepenuhnya sangat meyakini bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung secara tinggi bahasa nasionalnya. Semoga!

 

Selasa, 20 September 2022

Ihwal Tradisi Lisan dan Folklor


Tradisi lisan dan folklor menjadi genre sastra yang mempunyai keunikan tersendiri. Genre sastra ini berkaitan erat dengan kondisi kepercayaan masyarakat pemiliknya. Genre ini di antaranya dapat berupa puisi rakyat, prosa rakyat, dan lain sebagainya. Dari semua bentuk genre folklor yang paling menarik dan cukup familiar adalah cerita prosa rakyat. Prosa rakyat dapat dibagi menjadi  tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale).

Mite adalah cerita tradisional, peristiwa yang dibayangkannya berupa peristiwa masa lalu, yang sudah tidak diketahui lagi kapan peristiwa itu terjadi, para pelaku terdiri atas manusia suci atau manusia yang mempunyai kekuatan supernatural. Mite di Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam semesta (cosmogony); terjadinya susunan para dewa; dunia dewata (pantheon); terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero); terjadinya makanan pokok untuk pertama kali. Contoh mite Dewi Sri.

Legenda adalah cerita tradisional yang dihubungkan dengan peristiwa dan benda yang berasal dari masa lalu; pelaku dibayangkan sebagai pelaku yang betul-betul pernah hidup pada masyarakat masa lalu; pelaku melakukan kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat.

Legenda seringkali dipandang sebagai “sejarah” kolektif (folk history). Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda, misalnya legenda Malin Kundang dan Si Tanggang yang dapat migrasi dari setiap kelompok kebudayaan. Ada empat bagian legenda, yakni: legenda keagamaan (religious legend); legenda alam gaib (supernatural legend); legenda perseorangan (personal legend); dan legenda setempat (local legend).

Legenda keagamaan, yang termasuk ke dalam jenis ini adalah legenda orang suci (saints) Nasrani. Legenda demikian telah diakui dan disahkan oleh Gereja Katolik Roma dan menjadi kesusasteraan agama yang disebut hagiography. Di masyarakat Indonesia sendiri legenda keagamaan adalah mengenai orang-orang saleh atau para wali, di antaranya Syeh Adul Muhyi Pamijahan, Syeh Siti Jenar, dsb. Legenda alam gaib, biasanya berbentuk cerita yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang (memorat). Legenda ini besifat takhyul. Contohnya cerita tentang hantu, gendoruwo, kuntilanak, dsb.

Legenda perseorangan, cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar terjadi. Contohnya legenda Panji di Jawa Timur dan legenda Jayaprana di Bali. Legenda setempat: berhubungan erat dengan nama suatu tempat, natempat, dan bentuk topografi. Contohnya, Asal Mula Gunung Tangkuban Perahu, asal mula Kota Cirebon, dsb.

Dongeng adalah cerita tradisional yang pelakunya dibayangkan seperti dalam kehidupan sehari-hari; perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kebanyakan perbuatan biasa. Akan tetapi terdapat juga perbuatan yang mengandung keajaiban; latar tempat terjadinya peristiwa adalah latar yang dikenal sehari-hari; oleh masyarakat pemiliknya dongeng tidak diperlakukan sebagai sesuatu yang benar-benar pernah  terjadi atau sebagai suatu kepercayaan.

Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak juga dongeng yang berisi nilai moral (nasihat) atau bahkan sindiran. Dongeng dapat dibagi dalam empat golongan besar, yakni: dongeng binatang (animal tales/fabel); dongeng biasa (ordinary tales); dongeng berumus (formula tales); dan lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes).


Heri Isnaini (IKIP Siliwangi)

Minggu, 11 September 2022

Artikel Jurnal Ilmiah 2022

 1. Mantra Asihan Makrifat: Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, dan Fungsi  (https://prin.or.id/index.php/JURRIBAH/article/view/12)


2. Komunikasi Tokoh Pingkan dalam Merepresentasikan Konsep “Modern Meisje” Pada Novel Hujan Bulan Juni (https://journal.yp3a.org/index.php/mukasi/article/view/867)


3. Semiotik-Hermeneutik pada Puisi "Perjalanan ke Langit" Karya Kuntowijoyo (https://journal.stkipsubang.ac.id/index.php/aksentuasi/article/view/266)


4. Ideologi Eksistensialisme pada Puisi "Prologue" Karya Sapardi Djoko Damono (https://protasis.amikveteran.ac.id/index.php/protasis/article/view/17)


5. Mite Sanghyang Kenit: Daya Tarik Wisata Alam di Desa Rajamandala Kulon Kabupaten Bandung Barat (https://journal.literasisains.id/index.php/toba/article/view/398)


6. Gaya Humor Pada Puisi “Iklan” Karya Sapardi Djoko Damono (https://jurnal.unsil.ac.id/index.php/mbsi/article/view/5256)


7. Mistik-Romantik Pada Novel "Drama dari Krakatau" Karya Kwee Tek Hoay: Representasi Sastra Bencana (http://ejournal.uki.ac.id/index.php/dia/article/view/3970)

Ihwal Tasawuf

  (Sumber gambar: https://langgar.co/) I stilah tasawuf berkembang pada abad III Hijriyah atau sekitar abad IV Masehi, yang sebelumnya diawa...