Postingan Populer

Sabtu, 26 Agustus 2023

Ihwal Tasawuf

 

(Sumber gambar: https://langgar.co/)

Istilah tasawuf berkembang pada abad III Hijriyah atau sekitar abad IV Masehi, yang sebelumnya diawali terlebih dahulu dengan munculnya aliran zuhud (asketisme). Aliran ini berkembang pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah. Zuhud (asketisme) inilah yang menelurkan istilah tasawuf. Ada beberapa sumber perihal etimologi tasawuf. Kata ini berasal dari kata di dalam bahasa Arab shuf (bulu domba) merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asketik muslim; Safa (kemurnian); shaf (barisan); shuffah (emper Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad); ashab al-suffa (Sahabat Beranda); dan ahl al-suffa (orang-orang beranda) merujuk pada sekelompok yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi dan mendedikasikan waktunya untuk berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan.

    Tasawuf dimaksudkan untuk peningkatan jiwa seorang manusia secara moral, lewat latihan-latihan praktis tertentu atau dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan kondisi psikologis seseorang dalam memahami Tuhan melalui perjalanan-perjalanan mistik yang “berbeda” kondisi psikologis yang lain, bersifat subjektif. Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya.

    Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah, tetapi tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa Rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.

    Tasawuf lahir di tengah-tengah kebutuhan manusia akan ketenangan hidup dan pencarian kebahagiaan yang “hakiki”. Munculnya istilah tasawuf, baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.

    Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semadi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni rida, bertemu dan bermakrifat dengan kekasihnya, Tuhan Yang Maha Kuasa.


Disarikan oleh:

Heri Isnaini

Mimikri dan Kebudayaan Kita

 (sumber gambar: https://literariness.org/)


Secara sadar ataupun tidak, budaya dan pendidikan di Indonesia sedikit banyaknya adalah warisan dari bangsa yang pernah menjajah (sebut saja misalnya: Inggris, Portugis, Belanda, dan Jepang). Warisan-warisan tersebut agaknya membuat kita terlena sehingga mengakibatkan kita tidak bisa lagi membedakan mana yang asli atau mana yang tiruan. Berbicara tentang pembedaan asli dan tiruan sepertinya tidak perlu dilakukan karena kita tidak bisa dengan mudah menarik garis tegas di antara keduanya. Selain itu, pembedaan tersebut berkaitan erat dengan konsep mimikri yang bersifat ambivalensi. Seperti yang diungkapkan Homi K Bhaba almost the same but not quite, almost the same but not  white.

    Secara tidak langsung dan tidak sadar, kita akan dengan mudah mengagung-agungkan budaya yang datangnya dari Barat dan akan “merendahkan” budaya sendiri. Contoh kecilnya, orang lebih percaya diri menggunakan jas lengkap berikut dasi, daripada menggunakan pakaian adat dari daerahnya masing-masing. Sebegitu agungnya, sehingga kita tidak bisa berbuat banyak dan harus mengikuti arus tersebut. Walaupun dengan sadar, kita tidak tahu mengapa kita lebih mengagungkan Barat daripada budaya sendiri. Inilah salah satu konsep mimikri yang diungkapkan Bhaba, almost the same but not quite `hampir sama, tetapi tidak pernah sama`. Kita mengikuti tatacara budaya Barat dengan harapan dapat menjadi “sama” dengan mereka, tetapi tetap saja tidak akan sama. Secara lebih rasial, Bhaba mengatakan almost the same but not white `hampir sama, tetapi tidak putih`. Sebagaimanapun kita berusaha untuk menjadi seperti “Barat” dengan alat apapun, tetap saja kita mempunyai pigmen dalam kulit kita, dan tetap tidak akan sama putih dengan orang Barat.

    Hanafi dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis adalah seorang pribumi yang mengagung-agungkan Barat, sehingga dengan segala daya upayanya dia ingin “menjadi” seperti mereka. Bahkan dia sangat mengharapkan akan menikahi Corrie, anak dari budaya yang dia sanjung, akhirnya dia pun menikah dengan Corrie, tetapi tetap saja Hanafi tidak mempunyai jatidiri sesungguhnya. Kita sangat mengkhawatirkan nasib-nasib anak kita akan menjadi Hanafi. Berbeda dengan Kartini, dalam suratnya, Kartini sangat mengagungkan konsep budaya Baratnya, bukan mengekor pada budaya yang secara fisik saja. Seperti pada awal suratnya pada Stella dia mengatakan ingin sekali berkenalan dengan “gadis modern”, yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya. Semua, yang ingin diikuti oleh Kartini adalah konsep dan cara berfikir budaya Barat tersebut. Bukan sebaliknya.

    Akhirnya, kita akan menemukan banyak sekali mimikri budaya yang secara fisik dan harfiah dipahami secara mentah oleh anak-anak didik kita, misalnya: tatacara berpakaian, tatacara bergaul, tatacara makan, dan sebagainya. Ini adalah tugas kita bersama untuk setidaknya membimbing anak-anak kita untuk tidak memimik sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sejatinya ini tugas kita bersama. Tugas mulia.


Disarikan oleh

Heri Isnaini

Selasa, 22 Agustus 2023

Para Priyayi: Kelas Sosial Masyarakat Jawa

 (Sumber gambar: kompasiana.com)


Para Priyayi adalah novel karya Umar Kayam yang menggambarkan kelas sosial dalam masyarakat Jawa. Narasi yang digunakan dalam novel ini mengisahkan tokoh-tokoh dalam masyarakat Jawa dengan berbagai problematika kontemporer dalam kelas-kelas sosial masyarakat. Ada tiga kelompok kelas sosial besar pada masyarakat Jawa yang tergambar pada novel, yaitu:  priyayi, abangan, dan santri. Kelompok sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin hubungan yang erat antarstatus. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan abangan hanya menjadi pekerja kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua kelas tersebut. Sementara kelas sosial santri menempatkan diri menjadi kelas yang sangat eksklusif.

        Pembagian kelas sosial dalam novel ini sepertinya merujuk pada pembagian kelas sosial masyarakat Jawa yang dikemukakan oleh Clifford Geertz. Dalam The Religion of Java, Geertz membahas mengenai kelas-kelas sosial yang ditemukannya berdasarkan penelitian seputar agama, ekonomi, struktur kelas sosial tradisonal pada masyarakat Jawa. Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam menarasikan kelas sosial masyarakat Jawa dengan mengetengahkan tokoh utama dan konflik status sosial dalam novel.

    Konflik dan ketegangan antarkelas di dalam novel ini disebabkan adanya perbedaan ideologi. Ketegangan yang terjadi pada umumnya melibatkan kelas santri dengan kelas priyayi dan abangan. Meskipun di antara abangan dan priyayi juga terjadi banyak konflik, tetapi konflik yang terjadi di antara kedua kelas tersebut dengan para santri terlihat lebih intens.

    Para abangan yang memiliki ideologi bersifat pragmatis tidak dapat menerima ideologi para santri yang mereka anggap mistis. Para santri berpendapat bahwa jika manusia tidak membaca kitab suci dan berdoa kepada Tuhan maka kelak manusia tersebut akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan para abangan berpendapat bahwa neraka adalah situasi di dunia ini ketika mereka tidak memiliki makanan atau pada saat emosi negatif bergejolak di hati mereka. Cara untuk menghindari neraka bukanlah dengan berdoa atau membaca kitab suci, tetapi dengan berbuat hal-hal yang baik.

Para priyayi mengkritik para santri sebagai orang-orang yang munafik. Mereka pergi naik haji agar dihormati orang. Para priyayi menganggap bahwa pergi ke tanah suci bukanlah alasan yang tepat bagi seseorang untuk dihormati, karena tempat suci yang sebenarnya adalah di dalam hati, bukan di Mekkah atau di tempat duniawi lainnya. Sebaliknya, para santri menuduh para abangan sebagai penyembah berhala, dan menuduh para priyayi menyejajarkan diri mereka dengan Tuhan. Ketegangan antar kelas priyayi dan abangan disebabkan oleh sikap para abangan yang ingin menjadi seperti seorang priyayi. Mereka mencoba untuk hidup seperti layaknya seorang priyayi. Karena hal ini, para priyayi mengatakan bahwa para abangan tidak menjalani hidup sesuai dengan kodratnya sebagai proletariat, kelas pekerja.

Konflik yang berputar-putar pada tataran ideologi ini menjadi refleksi terhadap keadaan status dan kelas sosial masyarakat. Refleksi ini dapat juga menjadi bagian dari keyakinan terhadap status sosial masing-masing. Hematnya, pada tataran ideologi yang sangat abstrak setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam meyakini ideologi dan keyakinan masing-masing dengan bebas dan merdeka, tetapi tanpa mencela keyakinan dan ideologi orang lain.


Disarikan oleh

Heri Isnaini

Sejarah Sastra Populer

Sumber gambar: https://mamikos.com/

Kemunculan sastra populer erat kaitannya dengan kebudayaan populer. Kebudayaan populer pun tidak bisa dipisahkan dari media dan bahkan kita akan mengalami kesulitan untuk menentukan apakah media yang melahirkan kebudayaan populer atau sebaliknya. Media dan kebudayaan populer adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bagi sebagian ahli, pembedaan “kebudayaan populer”  dengan “kebudayaan adiluhung” didasarkan pada pandangan piramidal yang menggolongkan masyarakat menjadi kelas-kelas: atas, menengah, dan bawah. Penggolongan kelas-kelas inilah yang memunculkan istilah kebudayaan populer karena kelas bawah merupakan kelas yang paling banyak penganutnya.

Kelas bawah yang sangat banyak itulah yang menjadi pangsa pasar yang menjanjikan yang kemudian menghasilkan budaya populer. Dengan demikian, ada relevansi antara budaya populer dan budaya komersil. Untuk itulah, barang akan diproduksi untuk sesuatu yang sifatnya massal dan memenuhi keinginan pasar.

Sastra populer yang diwakili oleh penerbitan novel populer sudah dikenal sejak  tahun 1890-an. Pada masa  itu, novel populer  ditulis  oleh  orang  Cina-Melayu  dengan  menggunakan  bahasa Melayu pasar. Bacaan itu dimaksudkan hanya sebagai hiburan semata. Novel bahasa Melayu pertama ditulis oleh wartawan Lie Kim Kok dalam bahasa Melayu-Cina  (Melayu pasar) pada  tahun 1884 berjudul Sobat Anak-Anak. Terbitnya novel karya Lie Kim  Kok  ini  memicu  penerbitan novel-novel  sejenis.  Meskipun  ruang lingkupnya  masih  terbatas,  novel  yang  ketika  itu masih  bernama  “Roman Pitjisan” ini dianggap menjadi cikal-bakal kelahiran novel populer.

Penulisan roman pada tahun-tahun tersebut adalah akibat dari banyaknya permintaan bacaan dari masyarakat kelas bawah yang sudah mulai bisa membaca dan untuk memanfaatkan waktu luang mereka. Bacaan-bacaan populer pada waktu itu mendapat kecaman dari pemerintah kolonial, yang pada akhirnya membentuk “Taman Bacaan Rakyat”, Balai Pustaka. Pembentukan Balai Pustaka oleh pemerintah kolonial adalah sebagai bentuk “pendidikan” yang diberikan. Balai Pustaka yang mempunyai prioritas dalam penerbitan pada masa pemerintahan kolonial menganggap semua bacaan yang terbit di luar Balai Pustaka adalah bacaan liar dan dicap sebagai roman picisan.

Perkembangan sastra populer sebagai bagian dari kebudayaan populer itu begitu pesat. Keinginan membaca masyarakat yang berbanding lurus dengan permintaan pasar mengakibatkan novel-novel populer itu sangat digemari. Tema-tema yang ringan dan cenderung hanya penglipur lara menjadi salah satu alasan perkembangan tersebut. Penyebaran yang seluas-luasnya itu menjadi ciri kebudayaan populer atau kebudayaan massa yang melahirkan sastra populer.


Disarikan oleh

Heri Isnaini

Kamis, 17 Agustus 2023

Kuntowijoyo dan Maklumat Sastra Profetik

Kuntowijoyo. tirto.id/Deadnauval

    Kuntowijoyo yang dilahirkan pada 18 September 1943 di Bantul, Yogyakarta, merupakan budayawan, sejarawan, dan sastrawan yang unik. Keunikannya karena mampu menulis dalam berbagai bentuk tulisan. Sebagai seorang sastrawan, kemampuan menulis Kuntowijoyo dapat dibuktikan dengan tulisannya dalam berbagai genre sastra. Sebagai penyair ia telah menghasilkan tiga kumpulan puisi, yaitu Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Cerpen-cerpen yang ditulisnya begitu banyak, di antaranya Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), Mengusir Matahari (2000), dan beberapa cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas. Sebagai novelis ia telah menulis Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), dan Impian Amerika (1998). Dari banyak karyanya itu Kuntowijoyo juga telah memperoleh berbagai penghargaan sastra.

Tulisan-tulisan fiksi sastrawan yang wafat pada 22 Februari 2005 ini biasanya mengetengahkan tema-tema yang sederhana. Kuntowijoyo menulis dengan intuisi, tidak dengan formula apa pun, tanpa resep-resep tertentu sebagaimana diakuinya dalam pengantar kumpulan cerpen Hampir Sebuah Subversi (1999). Diksi-diksi puitik dan cerita rekaan begitu saja keluar secara langsung, alamiah, dan sederhana. Dalam menulis prosa, cerita-cerita Kuntowijoyo selalu dimulai dengan gagasan yang sangat sederhana. Gagasan itu muncul tiba-tiba dan menggoda untuk segera dituliskan. Artinya, gagasan-gagasan sederhana tersebut diramu sedemikian rupa sehingga menjadi sajian teks yang berbobot dan memiliki nilai yang tinggi.

Gagasan-gagasan dalam karya sastra Kuntowijoyo memiliki nafas religiositas yang kental yang tetap tidak mengabaikan kenyataan horisontal. Kumpulan puisi Makrifat Daun Daun Makrifat, misalnya, dapat dipakai untuk melacak adanya tema sastra profetik yang dianjurkan oleh Kuntowijoyo. Dalam pengantar untuk Makrifat Daun, Daun Makrifat sendiri Kuntowijoyo juga secara tegas menulis.“Sajak-sajak ini adalah serbuan dari langit. Akan tetapi, ia tidak menjadikan sastra terpencil. Lihatlah ia juga berbicara tentang pemogokan, kalau yang dimaksud dengan kenyataan ialah penderitaan. Sajak-sajak ini adalah sebuah pemberontakan, pemberontakan metafisik terhadap materialisme....”

Kuntowijoyo mendasarkan perumusan sastra profetik (dan profetisitas secara umum) kepada Al Quran surat Ali Imran (3:110). Bagi Kuntowijoyo, ada empat hal tersirat dari ayat ketiga surat Ali Imran ini, yaitu (1) konsep tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etika profetik. Konsep-konsep tersebut dimaknai oleh Kontowijoyo sebagai dasar maklumat sastra profetik, yakni kesadaran menjadi umat terbaik (the chosen people); keterlibatan dalam sejarah (ukhriyat li an nas); kesadaran Ilahiyah yang dapat membedakan etik Islam dari etik materialistis. Hal ini diperjelas oleh Abdul Hadi W.M. yang menilai sastra profetik sebagai sastra yang berjiwa transendental dan sufistik karena berangkat dari nilai-nilai ketauhidan, tetapi setelah itu juga dia memiliki semangat untuk terlibat dalam mengubah sejarah kemanusiaan dengan semangat kenabian.



disarikan oleh 

Heri Isnaini

 



 

Senin, 27 Februari 2023

Ah, Mungkin Kau Lupa Aku Begitu Merindumu


 


Rindu adalah perasaan yang senantiasa bersemayam pada lubuk manusia, di mana pun, siapa pun, dan kapan pun. Dia akan terus berada di sana hingga manusia menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya. Dengan rindu, hidup tidak akan abu-abu. Hidup akan beraneka warna. Beragam suka.  Rindu yang disampaikan dalam buku ini merupakan rindu dikristalisasi oleh konvensi bahasa puisi. Ada larik, bait, irama, dan birama. Dengan demikian, makna rindu bisa semakin “liar” sepanjang bahasa yang disampaikan menjadi bahan renungan dalam menghadapi kehidupan. Beragam cara disampaikan untuk rasa rindu, entah itu dengan menunjuk kepada seseorang, kepada alam, kepada tuhan, atau kepada apa pun yang diyakininya. 

(Heri Isnaini)



Silakan sajak-sajaknya dapat diunduh pada tautan berikut

>>>>>>>>>> https://drive.google.com/file/d/1FY8f7EFrHW4IYO6UkL4Xbmx5wfXPG8jY/view?usp=sharing


Rabu, 22 Februari 2023

Polemik Budaya pada Layar Terkembang

sumber gambar: https://ebooks.gramedia.com/

        Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA) adalah novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1936 oleh penerbit kolonial Balai Pustaka. Seperti kita ketahui, pada dekade 1920-an, semua bacaan yang beredar di masyarakat harus dibawah naungan Balai Pustaka sebagai satu-satunya penerbit yang mempunyai hak menerbitkan dan mengedarkan bahan bacaan masyarakat. Dengan asumsi bahwa bacaan yang beredar harus “beradab” dan bukan bacaan cabul.

Secara tekstual dan naratif, Layar Terkembang sebetulnya adalah novel yang sangat mudah dipahami dan cenderung “populer”. Akan tetapi, karena yang menerbitkan novel ini adalah Balai Pustaka sehingga Layar Terkembang menjadi novel beradab dibandingkan karya-karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka, Novel Melayu Tionghoa, misalnya. Artinya, pengaruh penerbit pada masa tersebut sangat mempengaruhi novel dan cerita yang diproduksi dan konsumen yang membacanya.

Sekitar satu tahun sebelum Layar Terkembang terbit, STA mencetuskan ide yang berani soal arah kemajuan budaya bagi Indonesia. STA pada tahun 1935 dengan tegas menyebutkan, Barat, ke Baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju. STA melontarkan idenya itu pada usia 27 tahun. STA menganggap nilai-nilai Barat seperti individualis, materialisme, dan egoisme sebagai sesuatu yang penting sebagai api. Pokok-pokok pemikiran STA bukan hanya mengguncang masyarakat saat itu. Para pemikir dan budayawan seangkatannya seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menanggapi pemikiran STA seraya mengingatkan STA bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus dipertahankan Indonesia mendatang. Perdebatan antara STA dengan para penentangnya dikenal dengan istilah Polemik Kebudayaan.

Pengaruh pernyataan STA terlihat pada novel Layar Terkembang. Misalnya, Yusuf, digambarkan sebagai anak pribumi yang pandai, cerdas, calon dokter tetapi selalu berpakaian ala pelajar Belanda, memakai stelan putih dan mengenakan topi helm dengan warna senada. Selanjutnya, kita cermati tokoh Soepomo, teman sekerja Tuti, dia hampir saja meluluhkan hati Tuti yang sudah sangat kuat “mempertahankan” prinsipnya: lebih baik tidak menikah daripada mendapatkan suami yang tidak sepadan dan sepaham hanya karena Soepomo berijazah Belanda, dia pernah sekolah di Belanda.

Dalam novel tersebut, ecara sadar STA sebetulnya mempunyai polemik tersendiri pada hati kecilnya. Dengan terang-terangan dia tidak mungkin akan kembali pada kebudayaan masa lalu yang dikatakannya sebagai takhayul. Ketakhayulan yang dianggap STA sebagai kemunduran pola pikir bangsa ini tercermin pada kutipan teks berikut “Sejak dari dahulu, bangsa kita gemar akan sikap menganggap dunia ini sebagai tiada berarti, fana. Dunia hanya tempat perhentian sebentar. Apa guna mengumpulkan harta? Apa guna kebesaran dan kemuliaan? Sikap demikian menyebabkan bangsa kita tiada berdaya?

Dari beberapa pendapat STA mengenai kebudayaan yang maju harus datang dari Barat, sebetulnya tidak mutlak dipegangnya juga. Kita akan banyak melihat kutipan pada Layar Terkembang yang menyatakan hal tersebut. Novel Layar Terkembang adalah polemik STA sendiri, satu sisi dia merasa dipengaruhi Barat, tetapi di sisi lain dia juga menyadari bahwa pada kebudayaan Barat ada cela yang tidak seharusnya ditirunya. Jadi, siapa yang meniru? STA tidak “meniru” apapun dari Barat, dia hanya memenuhi konvensi yang hanya diposisikan sekadar sumber inspirasi saja. Tidak lebih.

 

disarikan oleh

Heri Isnaini


Ihwal Tasawuf

  (Sumber gambar: https://langgar.co/) I stilah tasawuf berkembang pada abad III Hijriyah atau sekitar abad IV Masehi, yang sebelumnya diawa...