Postingan Populer

Selasa, 22 Agustus 2023

Para Priyayi: Kelas Sosial Masyarakat Jawa

 (Sumber gambar: kompasiana.com)


Para Priyayi adalah novel karya Umar Kayam yang menggambarkan kelas sosial dalam masyarakat Jawa. Narasi yang digunakan dalam novel ini mengisahkan tokoh-tokoh dalam masyarakat Jawa dengan berbagai problematika kontemporer dalam kelas-kelas sosial masyarakat. Ada tiga kelompok kelas sosial besar pada masyarakat Jawa yang tergambar pada novel, yaitu:  priyayi, abangan, dan santri. Kelompok sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin hubungan yang erat antarstatus. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan abangan hanya menjadi pekerja kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua kelas tersebut. Sementara kelas sosial santri menempatkan diri menjadi kelas yang sangat eksklusif.

        Pembagian kelas sosial dalam novel ini sepertinya merujuk pada pembagian kelas sosial masyarakat Jawa yang dikemukakan oleh Clifford Geertz. Dalam The Religion of Java, Geertz membahas mengenai kelas-kelas sosial yang ditemukannya berdasarkan penelitian seputar agama, ekonomi, struktur kelas sosial tradisonal pada masyarakat Jawa. Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam menarasikan kelas sosial masyarakat Jawa dengan mengetengahkan tokoh utama dan konflik status sosial dalam novel.

    Konflik dan ketegangan antarkelas di dalam novel ini disebabkan adanya perbedaan ideologi. Ketegangan yang terjadi pada umumnya melibatkan kelas santri dengan kelas priyayi dan abangan. Meskipun di antara abangan dan priyayi juga terjadi banyak konflik, tetapi konflik yang terjadi di antara kedua kelas tersebut dengan para santri terlihat lebih intens.

    Para abangan yang memiliki ideologi bersifat pragmatis tidak dapat menerima ideologi para santri yang mereka anggap mistis. Para santri berpendapat bahwa jika manusia tidak membaca kitab suci dan berdoa kepada Tuhan maka kelak manusia tersebut akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan para abangan berpendapat bahwa neraka adalah situasi di dunia ini ketika mereka tidak memiliki makanan atau pada saat emosi negatif bergejolak di hati mereka. Cara untuk menghindari neraka bukanlah dengan berdoa atau membaca kitab suci, tetapi dengan berbuat hal-hal yang baik.

Para priyayi mengkritik para santri sebagai orang-orang yang munafik. Mereka pergi naik haji agar dihormati orang. Para priyayi menganggap bahwa pergi ke tanah suci bukanlah alasan yang tepat bagi seseorang untuk dihormati, karena tempat suci yang sebenarnya adalah di dalam hati, bukan di Mekkah atau di tempat duniawi lainnya. Sebaliknya, para santri menuduh para abangan sebagai penyembah berhala, dan menuduh para priyayi menyejajarkan diri mereka dengan Tuhan. Ketegangan antar kelas priyayi dan abangan disebabkan oleh sikap para abangan yang ingin menjadi seperti seorang priyayi. Mereka mencoba untuk hidup seperti layaknya seorang priyayi. Karena hal ini, para priyayi mengatakan bahwa para abangan tidak menjalani hidup sesuai dengan kodratnya sebagai proletariat, kelas pekerja.

Konflik yang berputar-putar pada tataran ideologi ini menjadi refleksi terhadap keadaan status dan kelas sosial masyarakat. Refleksi ini dapat juga menjadi bagian dari keyakinan terhadap status sosial masing-masing. Hematnya, pada tataran ideologi yang sangat abstrak setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam meyakini ideologi dan keyakinan masing-masing dengan bebas dan merdeka, tetapi tanpa mencela keyakinan dan ideologi orang lain.


Disarikan oleh

Heri Isnaini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ihwal Tasawuf

  (Sumber gambar: https://langgar.co/) I stilah tasawuf berkembang pada abad III Hijriyah atau sekitar abad IV Masehi, yang sebelumnya diawa...