Pendidikan Indonesia dengan segala bentuk
permasalahannya menjadi benang kusut yang semakin hari semakin sulit terurai.
Pola-pola pendidikan yang dinilai hanya menyentuh aspek artifisial disinyalir
memperumit benang yang sudah semakin bersengkarut, alih-alih mengurai benang
tersebut yang terjadi justru sebaliknya.
Pendidikan merupakan salah satu cita-cita bangsa kita yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi hukum dasar tertulis (basic law) negara kita, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kata mencerdaskan berarti menjadikan bangsa kita memiliki kesempurnaan dalam berpikir, mengerti, memahami, dan sebagainya. Hal ini tentu saja menjadi tugas bersama dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Elemen-elemen bangsa harus bersatu padu membangun upaya konstruktif dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Indonesia dalam perjalanan historisnya telah mengalami pasang surut di bidang pendidikan. Pada zaman Van Den Bosch (1830-1834) Pemerintah kolonial membuka pendidikan untuk keperluan kolonialisme mereka, yakni memanfaatkan pribumi sebagai pegawai yang bisa membaca dan menulis. Walaupun pendidikan pada saat itu masih terbatas untuk kaum bangsawan priyayi dan kaum kulit putih saja, tetapi upaya mengenalkan pendidikan dan sekolah menjadi kemajuan dalam sejarah pendidikan kita.
Pendidikan merupakan salah satu cita-cita bangsa kita yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi hukum dasar tertulis (basic law) negara kita, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kata mencerdaskan berarti menjadikan bangsa kita memiliki kesempurnaan dalam berpikir, mengerti, memahami, dan sebagainya. Hal ini tentu saja menjadi tugas bersama dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Elemen-elemen bangsa harus bersatu padu membangun upaya konstruktif dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Indonesia dalam perjalanan historisnya telah mengalami pasang surut di bidang pendidikan. Pada zaman Van Den Bosch (1830-1834) Pemerintah kolonial membuka pendidikan untuk keperluan kolonialisme mereka, yakni memanfaatkan pribumi sebagai pegawai yang bisa membaca dan menulis. Walaupun pendidikan pada saat itu masih terbatas untuk kaum bangsawan priyayi dan kaum kulit putih saja, tetapi upaya mengenalkan pendidikan dan sekolah menjadi kemajuan dalam sejarah pendidikan kita.
Upaya-upaya pemerintah kolonial dalam memajukan
pendidikan terjadi pada tahun 1892 ketika Pemerintah Kolonial mengizinkan dan membuka
sekolah rendah untuk pribumi. Pendidikan saat itu masih didominasi oleh
kebijakan yang menguntungkan bangsa Belanda. Pendidikan untuk bangsa Belanda
yang ada pada waktu itu disebut Sekolah Kelas 1 dengan lama pendidikan 7 tahun
dengan fokus pembelajaran pada ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat, menggambar, dan
ilmu mengukur tanah. Sementara itu, kaum pribumi yang didominasi bangsawan priayi
mengenyam pendidikan yang disebut Sekolah Kelas 2 dengan lama pendidikan 3
tahun dengan fokus pada pembelajaran berhitung, menulis, dan membaca.
Setelah Indonesia menyatakan merdeka pada 17
Agustus 1945, arah pendidikan di Negara ini berdasar pada UUD 1945 dan
Pancasila. Arah pendidikan yang seyogyanya mengayomi seluruh warga Negara
secara tidak disadari ternyata bersifat ambivalensi. Hal ini sering terjadi ketika
ada upaya di satu sisi ingin mewujudkan cita-cita mencerdaskan bangsa, tetapi
di sisi lain ada kabijakan sebaliknya, misalnya dalam hal efektivitas
pendidikan, efisiensi pembelajaran, dan standardisasi pengajaran.
Pusaran ambivalensi pendidikan ini seringkali
berkutat pada hal-hal yang saling berkelindan dan berkaitan, misalnya salah
satu wujud rendahnya kualitas pendidikan kita adalah kualitas guru. Guru yang
diharapkan menjadi ujung tombak memperbaiki kualitas pendidikan tidak dijamin
kesejahterannya, sementara tugas mereka sangatlah berat, “mencerdaskan anak
bangsa” sehingga yang terjadi adalah para guru akan mencari kesejahteraan untuk
hidupnya dari profesi yang lain. Sebagai contoh yang lain, misalnya, masalah
sarana fisik sekolah yang tidak merata. Ada sekolah dengan sarana fisik yang
sangat mewah dan ada pula sekolah dengan sarana fisik alakadarnya. Keduanya pun
jadi ambivalensi lagi, karena sekolah yang mewah tentu saja berbanding lurus
dengan biaya pendidikannya yang mahal, sedangkan sekolah alakadarnya akan
melaksanakan pendidikan dengan alakadarnya juga. Sengkarutnya pusaran
ambivalensi pendidikan kita harus diurai sedikit demi sedikit tidak bisa instan
dengan saling menyalahkan.
Upaya-upaya yang bisa kita lakukan untuk
mengurai ambivalensi ini tentu saja harus seiring sejalan dengan kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah. Ketika ada upaya pemerintah dengan menerbitkan
kebijakan maka kita harus mempelajari kebijakan itu dan mendukung ketika kebijakan
tersebut sesuai dengan cita-cita bangsa dan mengoreksi ketika ada yang tidak
sesuai. Menurut saya, hal-hal semacam ini yang sedikit demi sedikit akan
mengurai benang kusut pendidikan di Negara kita. Terurainya benang kusut
pendidikan ini tentu saja akan sejalan dengan cita-cita bangsa kita, yakni
menjadi Negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Semoga!
Artikel pernah terbit di e-koran Telik, 30 Oktober 2020
Heri Isnaini
Mantap Pak
BalasHapusMantap terima kasih ilmunya pak
BalasHapusHebat pak, terima kasih artikelnya dapat membuka pikiran serta semangat.
BalasHapusTerima kasih ilmu nya pak
BalasHapusTerima kasih atas ilmunya pak...
BalasHapusTerima kasih pak, sangat menarik dan menambah wawasan.
BalasHapus