Postingan Populer

Selasa, 11 Januari 2022

Pusaran Ambivalensi Pendidikan Indonesia

Pendidikan Indonesia dengan segala bentuk permasalahannya menjadi benang kusut yang semakin hari semakin sulit terurai. Pola-pola pendidikan yang dinilai hanya menyentuh aspek artifisial disinyalir memperumit benang yang sudah semakin bersengkarut, alih-alih mengurai benang tersebut yang terjadi justru sebaliknya.
            Pendidikan merupakan salah satu cita-cita bangsa kita yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yang menjadi hukum dasar tertulis (basic law) negara kita, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kata mencerdaskan berarti menjadikan bangsa kita memiliki kesempurnaan dalam berpikir, mengerti, memahami, dan sebagainya. Hal ini tentu saja menjadi tugas bersama dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Elemen-elemen bangsa harus bersatu padu membangun upaya konstruktif dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan.
            Indonesia dalam perjalanan historisnya telah mengalami pasang surut di bidang pendidikan. Pada zaman Van Den Bosch (1830-1834) Pemerintah kolonial membuka pendidikan untuk keperluan kolonialisme mereka, yakni memanfaatkan pribumi sebagai pegawai yang bisa membaca dan menulis. Walaupun pendidikan pada saat itu masih terbatas untuk kaum bangsawan priyayi dan kaum kulit putih saja, tetapi upaya mengenalkan pendidikan dan sekolah menjadi kemajuan dalam sejarah pendidikan kita.
Upaya-upaya pemerintah kolonial dalam memajukan pendidikan terjadi pada tahun 1892 ketika Pemerintah Kolonial mengizinkan dan membuka sekolah rendah untuk pribumi. Pendidikan saat itu masih didominasi oleh kebijakan yang menguntungkan bangsa Belanda. Pendidikan untuk bangsa Belanda yang ada pada waktu itu disebut Sekolah Kelas 1 dengan lama pendidikan 7 tahun dengan fokus pembelajaran pada ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat, menggambar, dan ilmu mengukur tanah. Sementara itu, kaum pribumi yang didominasi bangsawan priayi mengenyam pendidikan yang disebut Sekolah Kelas 2 dengan lama pendidikan 3 tahun dengan fokus pada pembelajaran berhitung, menulis, dan membaca.
Setelah Indonesia menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, arah pendidikan di Negara ini berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila. Arah pendidikan yang seyogyanya mengayomi seluruh warga Negara secara tidak disadari ternyata bersifat ambivalensi. Hal ini sering terjadi ketika ada upaya di satu sisi ingin mewujudkan cita-cita mencerdaskan bangsa, tetapi di sisi lain ada kabijakan sebaliknya, misalnya dalam hal efektivitas pendidikan, efisiensi pembelajaran, dan standardisasi pengajaran.
Pusaran ambivalensi pendidikan ini seringkali berkutat pada hal-hal yang saling berkelindan dan berkaitan, misalnya salah satu wujud rendahnya kualitas pendidikan kita adalah kualitas guru. Guru yang diharapkan menjadi ujung tombak memperbaiki kualitas pendidikan tidak dijamin kesejahterannya, sementara tugas mereka sangatlah berat, “mencerdaskan anak bangsa” sehingga yang terjadi adalah para guru akan mencari kesejahteraan untuk hidupnya dari profesi yang lain. Sebagai contoh yang lain, misalnya, masalah sarana fisik sekolah yang tidak merata. Ada sekolah dengan sarana fisik yang sangat mewah dan ada pula sekolah dengan sarana fisik alakadarnya. Keduanya pun jadi ambivalensi lagi, karena sekolah yang mewah tentu saja berbanding lurus dengan biaya pendidikannya yang mahal, sedangkan sekolah alakadarnya akan melaksanakan pendidikan dengan alakadarnya juga. Sengkarutnya pusaran ambivalensi pendidikan kita harus diurai sedikit demi sedikit tidak bisa instan dengan saling menyalahkan.
Upaya-upaya yang bisa kita lakukan untuk mengurai ambivalensi ini tentu saja harus seiring sejalan dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Ketika ada upaya pemerintah dengan menerbitkan kebijakan maka kita harus mempelajari kebijakan itu dan mendukung ketika kebijakan tersebut sesuai dengan cita-cita bangsa dan mengoreksi ketika ada yang tidak sesuai. Menurut saya, hal-hal semacam ini yang sedikit demi sedikit akan mengurai benang kusut pendidikan di Negara kita. Terurainya benang kusut pendidikan ini tentu saja akan sejalan dengan cita-cita bangsa kita, yakni menjadi Negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Semoga!

Artikel pernah terbit di e-koran Telik, 30 Oktober 2020 
Heri Isnaini


 

6 komentar:

Cerpen: Makam Keramat Mbah Uyut

Baca cerpen lengkapnya di tautan berikut https://tebuireng.online/makam-keramat-mbah-uyut/