![]() |
sumber gambar: https://dispusip.jakarta.go.id/ |
Pada dekade 1920-an semua bacaan yang beredar di masyarakat harus dibawah naungan Balai Pustaka sebagai satu-satunya penerbit yang mempunyai hak menerbitkan dan mengedarkan bahan bacaan masyarakat. Balai Pustaka mempunyai otoritas dan prioritas dalam penerbitan bahan bacaan. Semua bacaan yang terbit di luar Balai Pustaka adalah bacaan liar dan dicap sebagai roman picisan. Oleh karena bacaan-bacaan tersebut tidak mementingkan asas mendidik dalam bersastra. “Mendidik” dalam pengertian pemerintah waktu itu tentu saja berkaitan dengan rencana pengembangan dan pemantapan kekuasaan.
Paradigma ini berlangsung lama sehingga karya-karya seperti karya pengarang keturunan Tionghoa tidak dapat dengan “nyaman” beredar dan dinikmati dengan bebas.
Ada syarat-syarat khusus yang ditetapkan Balai Pustaka dalam hal menerbitkan bahan-bahan bacaan. Syarat-syarat khusus tersebut memiliki tujuan untuk memperkuat pengaruh Pemerintah Kolonial terhadap masyarakat. Bahan bacaan akan dianggap lukus sensor ketika memenuhi syarat: (1) tidak menyinggung agama atau adat; (2) tidak membicarakan politik yang bertentangan dengan politik pemerintah; dan (3) tidak melanggar norma susila. Syarat-syarat tersebut jelas menekankan pada pentingnya memperkuat pengaruh dan otoritas Pemerintah Kolonial.
Dikotomi oleh Pemerintah Kolonial terkait bacaan liar atau roman picisan dengan karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka adalah sebagian dari imbas industrialisasi penerbitan dan politik etis dari pemerintah kolonial untuk “kemelekhurufan”. Dampak dari kebijakan inilah yang membuat penerbitan swasta manjamur dan tentu saja berakibat sensor pemerintah terhadap bacaan liar semakin ketat. Balai Pustaka sebagai bagian dari Pemerintah Kolonial ikut andil dalam menyaring informasi-informasi yang akan sampai kepada masyarakat melalui bacaan.
disarikan oleh
Heri Isnaini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar